Sabtu, 26 November 2011

Lakon Orang

Tiba-tiba teringat dengan hasil "dolan" beberapa waktu lalu. Waktu itu tanggal 24 Februari 2011,seorang teman dari sastra mengajak menghadiri sebuah acara teatrikal di kampusnya. Dengan iseng-iseng berhadiah, akhirnya berangkat juga. Sampai di gedung J Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang,aku membaca sebuah selebaran yang berisi sinopsis teater yang akan dipentaskan, "Armageddon".

Menurutku itu adalah acara teatrikal yang menarik. Terdapat beberapa aspek kehidupan yang berusaha digambarkan. Namun, sebagai amatiran penikmat sastra, aku menangkap makna cerita mengandalkan persepsi saja.Aku menangkap sebuah ambiguitas kehidupan yang penuh dengan keabsurdan, dimana batas antara hitam dan putih sudah tidak kentara dan berada pada alur yang sama. Sebuah dialog menyatakan, "Deuh raga, andai aku tahu bahwa yang nikmat akan mendatangkan sengsara, dan yang sengsara mendatangkan nikmat, aku akan menyuruh nyawa untuk membisiki raga agar tidak cepat-cepat ke sana". Dialog ini seolah-olah menyatakan batas yang semu antara surga dan neraka. Yah, surga dan neraka, kita tak pernah tahu bagaimana rupa dan bentuknya. Apakah yang nikmat akan selalu berarti surga dan yang sengsara akan selalu berarti neraka? Aku tak tahu bagaimana jelasnya.

Dunia sudah tak lagi berahasia. Dunia sudah tak berurat malu. Namun pada saat yang sama, dunia menyimpan banyak rahasia dari manusia. Banyak rahasia dari tak adanya urat malunya. Jika memang dunia tak memiliki rahasia, mengapa manusia selalu mencari sesuatu, selalu merasa kehilangan sesuatu? Dunia membeberkan apa yang dipunyainya pada saat yang bersamaan. Keindahan, nafsu, kebencian, kebijaksanaan, kearoganan, dan kesederhanaan, yang selalu merasa telah dimiliki manusia. Semua hal ini menunjukkan betapa absurdnya dunia yang ada. Dan kita manusia harus memainkan lakon yang dipunya dengan sukarela dan sebaik mungkin.

Apakah kau protagonis atau antagonis, entahlah, di dunia ini kau tak bisa menebaknya. Dan bukanlah suatu kemustahilan jika kau adalah keduanya. Alloh kemudian memainkan perannya di situ. Alloh adalah sang sutradara. Dia yang akan membimbing manusia melakukan lakon yang dipunyainya. Manusia pun harus menikmati lakon yang dia terima. Manusia tak tahu apakah jalur hitam atau jalur putih yang sedang dia lakoni. Dia hanya berusaha sebaik mungkin melakonkan skenario yang telah didapatinya. Mungkin hal ini senada dengan salah satu ayat Al-Quran, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Alloh mengetahui sedang kamu tidak mengetahui"

*Catatan ini dibuat terinspirasi Teater "Armageddon". Hanya terinspirasi, tidak berusaha menginterpretasi^^

Sabtu, 19 November 2011

"Beruntung kalian masih diijinkan kuliah. Itu tandanya orang tua berusaha mengangkat derajat kalian," seorang ibu berkata kepadaku dan seorang teman ketika kami duduk bersampingan di kereta. Kami bertemu sore itu dengan kondisi berdesak-desakan di kereta api. Sang ibu baru pulang dari Surabaya, yang menurut penuturan beliau adalah Surabaya untuk kerja dan mencari rizki. "Apapun ilmunya, dimanapun menuntutnya, asal ilmu itu bermanfaat, insyaAlloh berkah," tutur sang ibu lebih lanjut.

Apa yang dikatakan sang ibu hampir sama dengan apa yang dikatakan ayah padaku. Teringat beberapa tahun silam, ketika aku memutuskan untuk berhenti kuliah dan hanya menjawab, "aku tidak suka" pada ayah yang menyakan alasanku kenapa berhenti kuliah. Tak banyak bercakap ayah kemudian mengabulkan permintaanku. Yah, memang tak banyak berkata. Itulah yang kemudian membuat aku merasa menyesal dan bertanya, "Apakah aku telah menyakiti ayah". Aku baru berani bertanya kepada ayah setelah mampu memenuhi janjiku kepadanya untuk bersungguh-sungguh di "tempat" perkuliahan baru. Beliau menjawab, "Mau kuliah dimanapun, jurusan apapun, asal memang kamu mempunyai niat untuk melakukannya, akan ayah usahakan. Yang penting ilmu itu akhirnya bermanfaat atau tidak. Karena hal itulah yang akan meninggikan derajat seseorang. Bukan tempat kuliahnya." Aku hanya diam mendengarkannya. Berusaha mencerna.

Memang bukan tempat yang berpengaruh besar terhadap langkah-langkah seseorang, melainkan diri orang itu sendiri. "Passion", ada baiknya yang perlu diperhatikan pertama kali adalah hal ini. Jika memang sesuatu itu telah menjadi "passion" maka langkah apapun yang dilakukan akan terasa bermakna. Bukan "tempat" atau "daerah" atau "kota" atau semacamnya yang menjadikan seseorang akan menunjukkan maknanya di dunia, melainkan "diri" orang itu sendiri. Sampai dibatas mana dia akan mengaktualisasikan "diri" nya, dengan "passion" yang dipunya.

Tak ada siapa yang lebih hebat dari siapa, apalagi jika hal tersebut hanya diukur dengan "tempat" keberadaan seseorang. Semua orang adalah hebat ketika dia merasa apa yang dia lakukan memberikan arti bagi orang lain, meskipun itu hanya sedikit. Mengenali diri lebih baik dilakukan terlebih dahulu, bukan berfokus kepada mengenali "tempat". Ilmu berada dimana saja, bisa diambil di tempat mana saja. Yang kemudian menjadi tolak ukur baginya adalah seberapa bermanfaat ilmu yang dipunya, karena ilmu yang bermanfaatlah yang akan meninggikan derajat seseorang.

Malang, 20 November 2011