September
2012
Tinggal beberapa hari usiaku sudah beranjak dari angka
23 tahun. Teringat “Target Besar” yang belum tunai. Meskipun tidak ada
kecemasan atau kegelisahan yang mengganggu, target itu teringat. Dan kemudian
hanya bisa diam. Perasaan “Jalan yang masih timpang” sedikit tersisih. Mulai beralih
bahwa “Septemberku harus ceria”, aku harus rampung skripsi. Target itu yang
kemudian kugadang-gadang, dan sudah berpasrah, bahwa Alloh tidak pernah tidak
adil dengan rencanaNya. Suatu hari aku dengan seorang teman menikmati sore hari
di sebuah emperan toko, entahlah pada waktu itu kami berdua dengan enteng
membicarakan topik itu, yah topik itu, menikah. “Kenapa kamu ingin menikah di
usia 23, Ri?” katanya. Memang sudah menjadi rahasia umum keinginanku satu itu.
Sebenarnya setiap ada orang yang bertanya, dengan senang hati aku akan
menjawabnya, bahkan kadang tanpa diminta. “Aku ingin menikah muda. Kenapa? Yah
ada banyak petualangan seru yang ingin aku nikmati. Dan rasanya timpang jika
aku masih sendiri, no partner.
Bagaimana mungkin bisa menikmati petualangan kalau segala gerak-gerikku masih
terhitung separuh, agamaku masih belum penuh. Dan sedikit bocoran nih ya,
ambisi terbesarku adalah mendampingi suami menuntaskan ambisi-ambisinya. Nah kalau
aku belum punya suami, bagaimana mungkin aku menuntaskan ambisiku satu itu.
Hehehe. Kenapa di usia muda? kenapa di usia 23? Kalau usia 23, memang tidak ada
alasan spesifik, yah suka aja dengan angka ganjil itu. Hehehe. Dan kenapa di
usia muda? Karena aku rasa ketimpangan ini harus segera dilengkapi, semakin
cepat mengawali semakin bagus menurutku. Begitu maksudku. Toh usia kita kan
sudah memasuki tahapan “intimacy vs
isolation”, aku juga harus melewati tahapan ini dengan baik kan. Hehehe.
Tapi itu pikiranku sih, Hehehe” dengan cengengesan dan sok gaya aku
bercuap-cuap. “Dan sudah tahu harus dengan siapa?”. “Sudah. Dengan seseorang
yang masih disembunyikan sama Alloh. Hehehe” jawabku mantap. “Yah, kamu tahu
sendirilah, aku suka lompat sana lompat sini, berkegiatan ini berkegiatan itu,
sok sibuk padahal juga intinya main, hahaha, tapi hey.. I’m alone. And it feels so bored. Yah masak harus partneran
terus sama kamu, hehehe. Nggak.. nggak.. bercanda. Jadi begini, yah tidak tahu
juga sih siapa tepatnya orangnya, dan apakah memang harus di usia 23 tahun. Itu
kan cuma target, yang berhak mengiyakan tetep Alloh kan. Alloh yang paling
tahu, kapan aku sudah terhitung pantas. Makanya sedang terus berusaha
memantaskan diri. Karena yah aku tidak ingin punya sembarangan partner, menemukan partner yang asik kayak kamu juga ga gampang kan, hehehe.” Langit
mulai menunjukkan jingganya, sesekali aku menggoda temanku satu itu, dia manyun
setiap aku mengeluarkan gombalan untuknya. “Aku ingin punya partner yang baik, dan biar adil maka
aku juga sedang berusaha menjadi baik. Yah jika memang ternyata tidak harus di
usia 23 tahun, yah mungkin Alloh masih ingin aku terus belajar untuk
memantaskan diri. Alloh masih merasa bahwa aku masih belum pantas untuk
partnerku. Jadi yah, masih memantaskan diri. Kan ‘perempuan yang baik untuk
laki-laki yang baik’, aku percaya janji itu. Jadi membaiki diri dulu”. “Adakah
seseorang yang kamu tunggu, Ri? Sudahlah kita sudah sama-sama tahu maksudku ini
bagaimana?”, aku tersenyum tipis, dan “Aku tahu kamu tahu. Bagaimana mungkin
kamu tidak tahu, hampir setiap hari aku menyebutkan namanya padamu. Bagaimana
mungkin kamu tidak mengenali dirimu sendiri. Hahaha” temanku hanya manyun,
berdua kemudian kami tersenyum, senyum itu kami menyebutnya “senyum tahu”. Itulah pembicaraan sok-sokan kami sore itu.
11 Agustus 2012, Surabaya, at your room
Kita telah menyelesaikan sebuah percakapan. Dan
kemudian kamu beralih pada satu topik. Aku kepanasan, aku terbiasa di kota
dingin, dan Surabaya terasa panas. Aku mengantuk. Tiba-tiba kamu memulai sebuah
prolog. Prolog seperti ini, khas dirimu. Bertanya seperti sedang menginterogasi.
“Jadi bagaimana, boleh nikah sambil kuliah sama bapak?”. Panas, aku semakin
mengantuk. “Boleh. Bapak beranggapan tidak masalah, tapi yah tetap harus
rampung skripsi dan lulus. Sayang perjuangan tinggal sedikit lagi.” Kamu
tersenyum. Lalu prolog panjang itu lagi. Aku mengantuk, panas. Sesekali kulirik
jam dinding, hampir pukul 2 siang. Kita harus segera beranjak, kita ada rencana
akan datang di acara buka bersama “SMASA PAS 04-07”. Kamu asik berprolog,
kemudian “Nikah yuk. Yah aku rasa apalagi yang harus ditunggu. Daripada nanti
malah jadi hal yang enggak-enggak, menjadi hal yang tidak baik. Yah kemarin aku
sudah sedikit berbincang dengan ibu di rumah. Dan akhirnya tersebut namamu.
Jika memang iya dan kamu mau, nanti aku kenalkan ibu dulu, setelah itu aku akan
datang ke rumahmu, meminta ijin bapak. Jika memang sudah sepakat semua, yah
ayuk kita menikah. Bagaimana?” –sekarang aku
tahu bagaimana sebuah spectrum warna tebentuk. Semua warna bersatu dan kemudian
menjadi putih. Seperti sebuah perasaan. Semua rasa bersatu dan kemudian menjadi
putih. Aku tak tahu. Ketika dia mengatakannya, semua rasa bersatu dan kemudian
menjadi “putih”. Sederhana, sederhana sekali, dan aku suka- dan ini adalah
jawaban atas pertanyaanmu kenapa aku terlihat datar-datar saja. Bukan datar,
aku hanya tak tahu. Aku mengangguk dan seperti kebiasaanku ketika sedang
bingung dan berusaha menyembunyikan rasa cengengku, aku cengengesan.
Beberapa
hari setelah percakapan di emper toko, kamu memang membuktikan percakapanmu
waktu itu. kamu mengundangku ke rumahmu, bertemu ibumu. Beberapa hari
setelahnya kamu datang ke rumah, mengutarakan maksudmu kepada orang tuaku. -Aku rasa setiap laki-laki menjadi seorang
pria tahap pertama yah pada waktu seperti itu. Waktu dia datang ke rumah
seorang perempuan, dan meminta ijin kepada orang tuanya untuk menikahinya. Dan
selamat, kamu berhasil!- Jeda seminggu, kamu mengajak keluargamu ke rumah
untuk silaturahim. Seminggu kemudian dilangsungkan lamaran dan jeda beberapa
jam kita melangsungkan akad nikah. Sesederhana itu. Dan kamu tahu, aku selalu
menikmati segala sesuatu yang sederhana. Tanggal 23 September 2012, kita resmi
menikah. Usiaku 24 tahun. Yah, aku memang tidak menikah di usia 23, tapi aku
menikah di tanggal 23, dan itu tetap angka 23 kan? Alloh tetap gokil ^_^
Note for you, my husband :)
-Tetaplah
menjadi hambaNya yang sederhana, lelakiku. Aku setuju menikah denganmu, bukan
karena kehebatan-kehebatanmu, dan seperti yang juga pernah kubilang padamu,
bukan karena apakah kamu sudah mapan. Bukan… bukan itu. Aku setuju karena aku
tahu, kamu dengan kesederhanaanmu akan membuat diriku semakin dekat dengan
Tuhanku (Insya Alloh). Dan, yaaah… selain juga karena momen “putih abu-abu”
itu. Jadi, tolong, berhentilah meminta pemakluman-pemakluman dariku. Aku tahu,
kamu tahu seperti apa diriku, hei Ketua OSIS ku-
Sebuah
tulisan kecil untukmu,
Arie
Rahma Ferianto