Jumat, 02 November 2012

Another Journey

“Menikah di usia 23 tahun”, begitulah dengan semangat aku tulis di sobekan kertas kecil yang terburu-buru kusobek di mata kuliah Psikologi Perkembangan II. Pada hari itu kami mendapat tugas untuk membuat “Ember Cita-cita”. Kami diminta menuliskan 100 cita-cita kami, dan kalimat singkat yang terlintas dengan cepat di otak itulah yang kutulis. Yah “Menikah di usia 23 tahun”. Dan (mungkin) sejak saat itu, aku dengan senang hati berkata bahwa “Aku akan menikah di usia 23 tahun”, tanpa memikirkan dengan siapa aku akan menikah. 


September 2012
Tinggal beberapa hari usiaku sudah beranjak dari angka 23 tahun. Teringat “Target Besar” yang belum tunai. Meskipun tidak ada kecemasan atau kegelisahan yang mengganggu, target itu teringat. Dan kemudian hanya bisa diam. Perasaan “Jalan yang masih timpang” sedikit tersisih. Mulai beralih bahwa “Septemberku harus ceria”, aku harus rampung skripsi. Target itu yang kemudian kugadang-gadang, dan sudah berpasrah, bahwa Alloh tidak pernah tidak adil dengan rencanaNya. Suatu hari aku dengan seorang teman menikmati sore hari di sebuah emperan toko, entahlah pada waktu itu kami berdua dengan enteng membicarakan topik itu, yah topik itu, menikah. “Kenapa kamu ingin menikah di usia 23, Ri?” katanya. Memang sudah menjadi rahasia umum keinginanku satu itu. Sebenarnya setiap ada orang yang bertanya, dengan senang hati aku akan menjawabnya, bahkan kadang tanpa diminta. “Aku ingin menikah muda. Kenapa? Yah ada banyak petualangan seru yang ingin aku nikmati. Dan rasanya timpang jika aku masih sendiri, no partner. Bagaimana mungkin bisa menikmati petualangan kalau segala gerak-gerikku masih terhitung separuh, agamaku masih belum penuh. Dan sedikit bocoran nih ya, ambisi terbesarku adalah mendampingi suami menuntaskan ambisi-ambisinya. Nah kalau aku belum punya suami, bagaimana mungkin aku menuntaskan ambisiku satu itu. Hehehe. Kenapa di usia muda? kenapa di usia 23? Kalau usia 23, memang tidak ada alasan spesifik, yah suka aja dengan angka ganjil itu. Hehehe. Dan kenapa di usia muda? Karena aku rasa ketimpangan ini harus segera dilengkapi, semakin cepat mengawali semakin bagus menurutku. Begitu maksudku. Toh usia kita kan sudah memasuki tahapan “intimacy vs isolation”, aku juga harus melewati tahapan ini dengan baik kan. Hehehe. Tapi itu pikiranku sih, Hehehe” dengan cengengesan dan sok gaya aku bercuap-cuap. “Dan sudah tahu harus dengan siapa?”. “Sudah. Dengan seseorang yang masih disembunyikan sama Alloh. Hehehe” jawabku mantap. “Yah, kamu tahu sendirilah, aku suka lompat sana lompat sini, berkegiatan ini berkegiatan itu, sok sibuk padahal juga intinya main, hahaha, tapi hey.. I’m alone. And it feels so bored. Yah masak harus partneran terus sama kamu, hehehe. Nggak.. nggak.. bercanda. Jadi begini, yah tidak tahu juga sih siapa tepatnya orangnya, dan apakah memang harus di usia 23 tahun. Itu kan cuma target, yang berhak mengiyakan tetep Alloh kan. Alloh yang paling tahu, kapan aku sudah terhitung pantas. Makanya sedang terus berusaha memantaskan diri. Karena yah aku tidak ingin punya sembarangan partner, menemukan partner yang asik kayak kamu juga ga gampang kan, hehehe.” Langit mulai menunjukkan jingganya, sesekali aku menggoda temanku satu itu, dia manyun setiap aku mengeluarkan gombalan untuknya. “Aku ingin punya partner yang baik, dan biar adil maka aku juga sedang berusaha menjadi baik. Yah jika memang ternyata tidak harus di usia 23 tahun, yah mungkin Alloh masih ingin aku terus belajar untuk memantaskan diri. Alloh masih merasa bahwa aku masih belum pantas untuk partnerku. Jadi yah, masih memantaskan diri. Kan ‘perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik’, aku percaya janji itu. Jadi membaiki diri dulu”. “Adakah seseorang yang kamu tunggu, Ri? Sudahlah kita sudah sama-sama tahu maksudku ini bagaimana?”, aku tersenyum tipis, dan “Aku tahu kamu tahu. Bagaimana mungkin kamu tidak tahu, hampir setiap hari aku menyebutkan namanya padamu. Bagaimana mungkin kamu tidak mengenali dirimu sendiri. Hahaha” temanku hanya manyun, berdua kemudian kami tersenyum, senyum itu kami menyebutnya “senyum tahu”.  Itulah pembicaraan sok-sokan kami sore itu. 

      11 Agustus 2012, Surabaya, at your room
Kita telah menyelesaikan sebuah percakapan. Dan kemudian kamu beralih pada satu topik. Aku kepanasan, aku terbiasa di kota dingin, dan Surabaya terasa panas. Aku mengantuk. Tiba-tiba kamu memulai sebuah prolog. Prolog seperti ini, khas dirimu. Bertanya seperti sedang menginterogasi. “Jadi bagaimana, boleh nikah sambil kuliah sama bapak?”. Panas, aku semakin mengantuk. “Boleh. Bapak beranggapan tidak masalah, tapi yah tetap harus rampung skripsi dan lulus. Sayang perjuangan tinggal sedikit lagi.” Kamu tersenyum. Lalu prolog panjang itu lagi. Aku mengantuk, panas. Sesekali kulirik jam dinding, hampir pukul 2 siang. Kita harus segera beranjak, kita ada rencana akan datang di acara buka bersama “SMASA PAS 04-07”. Kamu asik berprolog, kemudian “Nikah yuk. Yah aku rasa apalagi yang harus ditunggu. Daripada nanti malah jadi hal yang enggak-enggak, menjadi hal yang tidak baik. Yah kemarin aku sudah sedikit berbincang dengan ibu di rumah. Dan akhirnya tersebut namamu. Jika memang iya dan kamu mau, nanti aku kenalkan ibu dulu, setelah itu aku akan datang ke rumahmu, meminta ijin bapak. Jika memang sudah sepakat semua, yah ayuk kita menikah. Bagaimana?” –sekarang aku tahu bagaimana sebuah spectrum warna tebentuk. Semua warna bersatu dan kemudian menjadi putih. Seperti sebuah perasaan. Semua rasa bersatu dan kemudian menjadi putih. Aku tak tahu. Ketika dia mengatakannya, semua rasa bersatu dan kemudian menjadi “putih”. Sederhana, sederhana sekali, dan aku suka- dan ini adalah jawaban atas pertanyaanmu kenapa aku terlihat datar-datar saja. Bukan datar, aku hanya tak tahu. Aku mengangguk dan seperti kebiasaanku ketika sedang bingung dan berusaha menyembunyikan rasa cengengku, aku cengengesan.
Beberapa hari setelah percakapan di emper toko, kamu memang membuktikan percakapanmu waktu itu. kamu mengundangku ke rumahmu, bertemu ibumu. Beberapa hari setelahnya kamu datang ke rumah, mengutarakan maksudmu kepada orang tuaku. -Aku rasa setiap laki-laki menjadi seorang pria tahap pertama yah pada waktu seperti itu. Waktu dia datang ke rumah seorang perempuan, dan meminta ijin kepada orang tuanya untuk menikahinya. Dan selamat, kamu berhasil!- Jeda seminggu, kamu mengajak keluargamu ke rumah untuk silaturahim. Seminggu kemudian dilangsungkan lamaran dan jeda beberapa jam kita melangsungkan akad nikah. Sesederhana itu. Dan kamu tahu, aku selalu menikmati segala sesuatu yang sederhana. Tanggal 23 September 2012, kita resmi menikah. Usiaku 24 tahun. Yah, aku memang tidak menikah di usia 23, tapi aku menikah di tanggal 23, dan itu tetap angka 23 kan? Alloh tetap gokil ^_^

Note for you, my husband :)
-Tetaplah menjadi hambaNya yang sederhana, lelakiku. Aku setuju menikah denganmu, bukan karena kehebatan-kehebatanmu, dan seperti yang juga pernah kubilang padamu, bukan karena apakah kamu sudah mapan. Bukan… bukan itu. Aku setuju karena aku tahu, kamu dengan kesederhanaanmu akan membuat diriku semakin dekat dengan Tuhanku (Insya Alloh). Dan, yaaah… selain juga karena momen “putih abu-abu” itu. Jadi, tolong, berhentilah meminta pemakluman-pemakluman dariku. Aku tahu, kamu tahu seperti apa diriku, hei Ketua OSIS ku-

Sebuah tulisan kecil untukmu,
Arie Rahma Ferianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar