Sabtu, 15 Maret 2014

Catatan Kecil...



Pernikahan? Apa itu pernikahan? Dari beberapa jawaban yang kudengar, pernikahan adalah penyatuan dua orang dalam suatu lembaga yang sah. Benarkah demikian?
     Hampir dua tahun sudah saya melibatkan diri dalam hal yang bernama pernikahan. Alhamdulillah, saya diberi partner/ pasangan/ teman/ soulmate/ suami yang berbeda dengan saya, sehingga paling tidak kemudian membuat saya bertanya-tanya dan mau belajar lagi tentang apa itu pernikahan. Yups, kami berbeda. Paling tidak perbedaan mendasar kami adalah dia laki-laki dan saya perempuan. Hahaha.
     Semakin ke sini semakin seru, karena saya adalah tipikal orang yang tak mungkin tak mempertanyakan sesuatu (gampang penasaran dan sok ingin tahu). Bahkan ketika kemudian saya sadar bahwa saya dan partner saya “saling melengkapi (baca: berbeda)”, saya kemudian berpikir ulang, ‘Apa iya dengan menikah orang dapat menyatu? Dan apakah memang mungkin manusia dapat menyatu? Dan apakah memang akan asik jika kita menikah dengan orang yang kemudian akan menyatu dengan kita? Dan kenapa kita selalu terkaget-kaget ketika mendapati partner kita berbeda dengan kita?’
    Teringat suatu ulasan dari seorang pengajar tentang pernikahan. Beliau bertanya kepada kami, para mahasiswa yang selalu bersemangat memasuki kelas untuk mempelajari dirinya sendiri, “Apa itu pernikahan?”, dan seperti yang saya utarakan di atas, beberapa dari kami kemudian menjawab bahwa pernikahan adalah penyatuan. Beliau tersenyum simpul sambil kemudian bercerita tentang kehidupan pernikahannya dengan sang istri. Beliau mengatakan dirinya tak pernah memaksakan diri untuk menyatu dengan diri sang istri, dan tidak memaksa sang istri untuk menyatu dengan dirinya. Beliau hanya berharap, beliau dan sang istri dapat saling berdampingan, saling mengiringi, saling men-support diri masing-masing untuk menjadi sebaik-baik diri mereka sendiri, dan kehidupan pernikahan beliau kemudian penuh warna. Yah, banyak warna, dan bukan keseragaman, karena mereka tak pernah memaksa untuk menyatukan diri mereka, mereka hanya saling mengisi. Sang pengajar lebih senang menyebutnya dengan “saling toleransi”.
     Saya rasa itulah kuncinya, saling toleransi. Ketika kita dapat menghargai pribadi partner kita, menghargai konflik yang kemudian timbul karena perbedaan yang ada, dan menghargai betapa partner kita pun sedang mencoba belajar hal yang sama dengan kita, belajar tentang pengalaman yang disebut pernikahan. Kita selalu bisa toleransi. Sekali lagi toleransi, bahkan terhadap konflik yang kemudian timbul, seperti yang saya katakan sebelumnya.
    Kita perlu toleransi dengan konflik, bukannya takut ketika konflik muncul. Kita menganggap konflik adalah buah manis dari adanya perbedaan, dan tak perlu tergesa-gesa menghindari. Konflik tak akan selesai ketika kita menghindarinya dan menganggapnya masalah. Rangkul sang konflik, toleransilah dengan keberadaannya dan kemudian tertawalah untuknya. Selesaikan dengan menganggapnya merupakan suatu kewajaran. Bukan menyelesaikan dengan menganggapnya sebagai masalah, karena ketika hal itu muncul lagi, maka kau akan mempengaruhi dirimu dengan anggapan bahwa pernikahanmu sedang bermasalah.
    Denial tak pernah selesai atau takkan penah menjadi “ending”, denial akan selalu menjadi “to be continued”. Oke, apakah alur saya mulai melompat-lompat? Maafkan saya, dan saya mohon toleransilah.. Hahaha…
     Saya pun belum tahu definisi tepat pernikahan seperti apa, tapi saya sependapat dengan sang pengajar, bahwa kunci dari pernikahan adalah toleransi. Ada satu kutipan yang saya suka tentang pernikahan, dalam buku Tuesdays with Morrie (ini buku suami saya yang secara rahasia saya corat-coret karena saya menyukai kutipan ini :p) “Ada beberapa aturan yang menurutku berlaku untuk cinta dan pernikahan: Kalau kita tidak menghormati pihak yang lain, kita akan mendapatkan banyak masalah. Kalau kita tidak tahu cara berkompromi, kita akan mendapatkan banyak masalah…” “menurutku pernikahan adalah babak sangat penting yang perlu kita lalui, dan kita akan kehilangan banyak sekali kalau kita tidak mencobanya.” (Albom, 1997).
     Dan bagaimana akhir dari pernikahan saya, saya tidak tahu. Tapi saya tahu, ini akan menjadi suatu perjalanan yang menyenangkan. The incredible journey… 


Ariera
Pangkal Pinang, 11 Maret 2014

Kamis, 06 Maret 2014

Aku ingin Bercerita



Hanya sedang ingin menulis. Beberapa hari ini aku liburan. Yah, liburan. Huaaaahhh.. its so nice setelah menutup tahun kemarin dengan “sempurna”. Aku kembali pulang, kembali ke muaraku, kembali ke diriku yang sebenarnya lagi. Gadis kecil yang lebih suka berkhayal ketimbang menulis laporan ilmiah, lebih suka “dolan ngalor ngidul” ketimbang berdiam diri di laboratorium untuk suatu eksperimen, lebih suka tidur ketimbang menyapu (hehehe, apaan sih ini). Tapi entahlah, menurutku semuanya seperti “Aku”.
“Aku”… teringat mata kuliah Filsafat Manusia di awal semester kuliah. Pada waktu itu ada satu pertanyaan yang sering “diulang-ulang” oleh Sang Dosen dan Asisten Dosen, “Siapa Aku?”. Hmm.. sempat puyeng juga karena dari satu pertanyaan itu jawaban akan terus berputar-putar dan seperti tak ada pangkal. Sempat gedeg karena aku kelaparan di dalam kelas kebanyakan berpikir “Siapa Aku?” Waktu itu ingin sekali kujawab, Aku adalah tubuh yang kelaparan dan akan mudah mengeluarkan cacian ketika perut tak segera diberi sumpalan. Hahaha.
“Siapa Aku?”, kira-kira jawaban apa yang akan kalian keluarkan ketika kalian diberi pertanyaan ajaib tersebut. Apakah kalian akan menjawab dengan menyebutkan identitas kalian (nama, status, usia misalnya), atau akan menyebutkan sifat-sifat kalian? Beberapa film yang pernah kutonton juga sempat membahas tentang “Siapa Aku?” ini. Film pertama yang kulihat adalah “Spiderman” dengan “Who am I?” nya. Film kedua “Anger Management” dengan “Who are Dave Buznik (tokoh utama dalam film tersebut)”, dan dikedua film tersebut tak disebutkan jawaban nyata bagaimana harus menjawab dan apa jawaban dari “Siapa Aku?”. Maka semakin puyenglah aku.
Aku pun sempat berpikir, bagaimana aku bisa berjalan mondar mandir ke sana kemari sementara aku tak pernah mengetahui “Siapa Aku?”, lalu apa bedanya aku dengan orang-orang yang diberi title gila oleh para ahli jiwa jika kami sama-sama tak bisa menjawab “Siapa Aku?”. Atau mungkin malah akan bertukar posisi jika (siapa tahu) justru mereka bisa menjawab dengan mudah.
Apakah aku akan menjadi “Aku” jika aku menjawab “Siapa Aku?” dengan menyebutkan identitasku. Jika memang demikian, apakah “Aku” tak permanen karena identitasku pun tak permanen. Dan apakah aku akan menjadi “Aku” jika jawaban yang kukeluarkan adalah sifat-sifatku (atau mungkin hal yang kukira adalah sifat-sifatku), dan bagaimana aku bisa yakin bahwa yang kusebut adalah benar-benar sifat-sifatku? Tapi jika memang itu sifat-sifatku apakah berarti aku adalah bagian “Aku” yang lain, karena mungkin manusia lain juga memiliki sifat-sifat yang kupunya, apakah aku adalah bagian dari beberapa “Aku”?
Tapi setelah peristiwa tahun lalu yang kulewati, saat ini aku merasa seperti menjadi “Aku”. Bagaimana cara aku menjawabnya (ini tak mutlak untuk semua orang), aku menjawab pada diriku sendiri, aku adalah tubuh dan jiwa yang menyatu. Ketika apa yang tubuhku kehendaki, jiwaku pun menghendakinya. Ketika jiwaku bisa mengeluarkan dirinya melalui tubuh. Tak berjalan timpang diantara keduanya. Yah bahasa mudahnya, aku merasa nyaman ketika melakukan suatu hal. Atau ketika aku melakukan suatu pekerjaan, aku memang menghendaki pekerjaan itu. Sudah, sesederhana dan seaneh itu. Sudah, itulah “Aku”. Dan tak seharusnya aku takut untuk menjadi "Aku".
Apakah aku masih puyeng, yah aku masih puyeng. Aku masih puyeng karena ketika akan mengakhiri tulisan ini aku tak tahu apa maksudku menuliskan ini. Dan apa maksudku menceritakan ini pada kalian. Tapi percayalah, aku tak ingin membagi kepuyenganku dengan kalian. Aku hanya ingin menyapa ke”Aku’an yang ada pada kalian. Karena mungkin, aku adalah bagian dari “Aku” kalian. Selamat pagi, “Aku”.