Kamis, 06 Maret 2014

Aku ingin Bercerita



Hanya sedang ingin menulis. Beberapa hari ini aku liburan. Yah, liburan. Huaaaahhh.. its so nice setelah menutup tahun kemarin dengan “sempurna”. Aku kembali pulang, kembali ke muaraku, kembali ke diriku yang sebenarnya lagi. Gadis kecil yang lebih suka berkhayal ketimbang menulis laporan ilmiah, lebih suka “dolan ngalor ngidul” ketimbang berdiam diri di laboratorium untuk suatu eksperimen, lebih suka tidur ketimbang menyapu (hehehe, apaan sih ini). Tapi entahlah, menurutku semuanya seperti “Aku”.
“Aku”… teringat mata kuliah Filsafat Manusia di awal semester kuliah. Pada waktu itu ada satu pertanyaan yang sering “diulang-ulang” oleh Sang Dosen dan Asisten Dosen, “Siapa Aku?”. Hmm.. sempat puyeng juga karena dari satu pertanyaan itu jawaban akan terus berputar-putar dan seperti tak ada pangkal. Sempat gedeg karena aku kelaparan di dalam kelas kebanyakan berpikir “Siapa Aku?” Waktu itu ingin sekali kujawab, Aku adalah tubuh yang kelaparan dan akan mudah mengeluarkan cacian ketika perut tak segera diberi sumpalan. Hahaha.
“Siapa Aku?”, kira-kira jawaban apa yang akan kalian keluarkan ketika kalian diberi pertanyaan ajaib tersebut. Apakah kalian akan menjawab dengan menyebutkan identitas kalian (nama, status, usia misalnya), atau akan menyebutkan sifat-sifat kalian? Beberapa film yang pernah kutonton juga sempat membahas tentang “Siapa Aku?” ini. Film pertama yang kulihat adalah “Spiderman” dengan “Who am I?” nya. Film kedua “Anger Management” dengan “Who are Dave Buznik (tokoh utama dalam film tersebut)”, dan dikedua film tersebut tak disebutkan jawaban nyata bagaimana harus menjawab dan apa jawaban dari “Siapa Aku?”. Maka semakin puyenglah aku.
Aku pun sempat berpikir, bagaimana aku bisa berjalan mondar mandir ke sana kemari sementara aku tak pernah mengetahui “Siapa Aku?”, lalu apa bedanya aku dengan orang-orang yang diberi title gila oleh para ahli jiwa jika kami sama-sama tak bisa menjawab “Siapa Aku?”. Atau mungkin malah akan bertukar posisi jika (siapa tahu) justru mereka bisa menjawab dengan mudah.
Apakah aku akan menjadi “Aku” jika aku menjawab “Siapa Aku?” dengan menyebutkan identitasku. Jika memang demikian, apakah “Aku” tak permanen karena identitasku pun tak permanen. Dan apakah aku akan menjadi “Aku” jika jawaban yang kukeluarkan adalah sifat-sifatku (atau mungkin hal yang kukira adalah sifat-sifatku), dan bagaimana aku bisa yakin bahwa yang kusebut adalah benar-benar sifat-sifatku? Tapi jika memang itu sifat-sifatku apakah berarti aku adalah bagian “Aku” yang lain, karena mungkin manusia lain juga memiliki sifat-sifat yang kupunya, apakah aku adalah bagian dari beberapa “Aku”?
Tapi setelah peristiwa tahun lalu yang kulewati, saat ini aku merasa seperti menjadi “Aku”. Bagaimana cara aku menjawabnya (ini tak mutlak untuk semua orang), aku menjawab pada diriku sendiri, aku adalah tubuh dan jiwa yang menyatu. Ketika apa yang tubuhku kehendaki, jiwaku pun menghendakinya. Ketika jiwaku bisa mengeluarkan dirinya melalui tubuh. Tak berjalan timpang diantara keduanya. Yah bahasa mudahnya, aku merasa nyaman ketika melakukan suatu hal. Atau ketika aku melakukan suatu pekerjaan, aku memang menghendaki pekerjaan itu. Sudah, sesederhana dan seaneh itu. Sudah, itulah “Aku”. Dan tak seharusnya aku takut untuk menjadi "Aku".
Apakah aku masih puyeng, yah aku masih puyeng. Aku masih puyeng karena ketika akan mengakhiri tulisan ini aku tak tahu apa maksudku menuliskan ini. Dan apa maksudku menceritakan ini pada kalian. Tapi percayalah, aku tak ingin membagi kepuyenganku dengan kalian. Aku hanya ingin menyapa ke”Aku’an yang ada pada kalian. Karena mungkin, aku adalah bagian dari “Aku” kalian. Selamat pagi, “Aku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar