Hanya sedang ingin menulis. Beberapa
hari ini aku liburan. Yah, liburan. Huaaaahhh.. its so nice setelah menutup
tahun kemarin dengan “sempurna”. Aku kembali pulang, kembali ke muaraku,
kembali ke diriku yang sebenarnya lagi. Gadis kecil yang lebih suka berkhayal
ketimbang menulis laporan ilmiah, lebih suka “dolan ngalor ngidul” ketimbang
berdiam diri di laboratorium untuk suatu eksperimen, lebih suka tidur ketimbang
menyapu (hehehe, apaan sih ini). Tapi entahlah, menurutku semuanya seperti “Aku”.
“Aku”… teringat mata kuliah Filsafat
Manusia di awal semester kuliah. Pada waktu itu ada satu pertanyaan yang sering
“diulang-ulang” oleh Sang Dosen dan Asisten Dosen, “Siapa Aku?”. Hmm.. sempat
puyeng juga karena dari satu pertanyaan itu jawaban akan terus berputar-putar
dan seperti tak ada pangkal. Sempat gedeg karena aku kelaparan di dalam kelas
kebanyakan berpikir “Siapa Aku?” Waktu itu ingin sekali kujawab, Aku adalah
tubuh yang kelaparan dan akan mudah mengeluarkan cacian ketika perut tak segera
diberi sumpalan. Hahaha.
“Siapa Aku?”, kira-kira jawaban apa
yang akan kalian keluarkan ketika kalian diberi pertanyaan ajaib tersebut.
Apakah kalian akan menjawab dengan menyebutkan identitas kalian (nama, status,
usia misalnya), atau akan menyebutkan sifat-sifat kalian? Beberapa film yang
pernah kutonton juga sempat membahas tentang “Siapa Aku?” ini. Film pertama
yang kulihat adalah “Spiderman”
dengan “Who am I?” nya. Film kedua “Anger Management” dengan “Who are Dave Buznik (tokoh utama dalam
film tersebut)”, dan dikedua film tersebut tak disebutkan jawaban nyata bagaimana
harus menjawab dan apa jawaban dari “Siapa Aku?”. Maka semakin puyenglah aku.
Aku pun sempat berpikir, bagaimana
aku bisa berjalan mondar mandir ke sana kemari sementara aku tak pernah
mengetahui “Siapa Aku?”, lalu apa bedanya aku dengan orang-orang yang diberi
title gila oleh para ahli jiwa jika kami sama-sama tak bisa menjawab “Siapa
Aku?”. Atau mungkin malah akan bertukar posisi jika (siapa tahu) justru mereka
bisa menjawab dengan mudah.
Apakah aku akan menjadi “Aku” jika
aku menjawab “Siapa Aku?” dengan menyebutkan identitasku. Jika memang demikian,
apakah “Aku” tak permanen karena identitasku pun tak permanen. Dan apakah aku
akan menjadi “Aku” jika jawaban yang kukeluarkan adalah sifat-sifatku (atau
mungkin hal yang kukira adalah sifat-sifatku), dan bagaimana aku bisa yakin
bahwa yang kusebut adalah benar-benar sifat-sifatku? Tapi jika memang itu
sifat-sifatku apakah berarti aku adalah bagian “Aku” yang lain, karena mungkin
manusia lain juga memiliki sifat-sifat yang kupunya, apakah aku adalah bagian
dari beberapa “Aku”?
Tapi setelah peristiwa tahun lalu
yang kulewati, saat ini aku merasa seperti menjadi “Aku”. Bagaimana cara aku
menjawabnya (ini tak mutlak untuk semua orang), aku menjawab pada diriku sendiri,
aku adalah tubuh dan jiwa yang menyatu. Ketika apa yang tubuhku kehendaki, jiwaku
pun menghendakinya. Ketika jiwaku bisa mengeluarkan dirinya melalui tubuh. Tak
berjalan timpang diantara keduanya. Yah bahasa mudahnya, aku merasa nyaman ketika melakukan suatu hal. Atau ketika aku melakukan suatu pekerjaan, aku memang menghendaki pekerjaan itu. Sudah, sesederhana dan seaneh itu. Sudah,
itulah “Aku”. Dan tak seharusnya aku takut untuk menjadi "Aku".
Apakah aku masih puyeng, yah aku
masih puyeng. Aku masih puyeng karena ketika akan mengakhiri tulisan ini aku
tak tahu apa maksudku menuliskan ini. Dan apa maksudku menceritakan ini pada
kalian. Tapi percayalah, aku tak ingin membagi kepuyenganku dengan kalian. Aku hanya
ingin menyapa ke”Aku’an yang ada pada kalian. Karena mungkin, aku adalah bagian
dari “Aku” kalian. Selamat pagi, “Aku”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar