Satu lagi perjalanan baru. Seorang malaikat kecil datang, dan nama dari malaikat ini adalah anak. Terus terang saja, selama setahun ini saya memang menantikannya datang dalam perjalanan saya. Sebelumnya, sempat seorang malaikat kecil pendahulu datang. Yah, meski selama empat hari, tapi dia datang.
Datang. Bagaimana mereka datang dan berapa lama mereka datang, harusnya saya memperhatikannya, tetapi "diri" saya lebih sibuk memikirkan cerita apa yang akan mereka tambahkan dalam perjalanan saya. Yah, saya selalu keranjingan cerita. Saya selalu memaksa untuk menemukan cerita di setiap kotak perjalanan yang mampir.
Menemukan cerita. Terkadang dengan memaksa menemukannya, justru saya tak mendapat apa-apa. Saya bingung, dan kemudian muncul banyak keraguan. Keraguan ini kemudian semakin menegaskan, dua hadiah cantik ini datang untuk menyadarkan "diri" saya, bahwa saya hanya manusia biasa, banyak batasnya, banyak kesombongannya, dan banyak butuh tangan orang lain. Jadi apa yang mesti saya banggakan. Saya hanya manusia ternyata. Hahaha
Mengalir, seharusnya saya belajar ini dengan baik. Seperti anak-anak, yang memahami makna mengalir ini dengan baik. Tanpa cemas apa yang terjadi kemarin, nanti, maupun hari ini. Mereka menikmati aliran cerita yang mereka dapat. Mereka tak menuntut ceritanya harus sempurna. Apa yang didapat, mereka terima dengan sederhana. Begitu sederhananya pilihan dunia mereka.
Semoga satu malaikat kecil ini akan menambah semarak cerita perjalanan saya. Akan menambah media belajar saya menjadi manusia. Thanks for coming into my journey, Filosofi :)
notes
Senin, 11 Mei 2015
Jumat, 02 Januari 2015
Lika liku Pendidikan Negeri "Ini"
Hari ini
mataku agak sulit terpejam,, banyak pikiran. Aku sadar ini bukan suatu pertanda
kebaikan bagi kesehatan tubuhku. Tapi ini sudah agak mendingan. Aku kemarin
sudah agak merefresh otakku. Aku baru pulang dari Surabaya. Ada
acara di sana.
Sebuah komunitas Bangbangwetan, asuhan Cak Nun. Aku bukan orang yang rutin
mengikuti acara tersebut. Kemarin adalah kedua kalinya aku mengikuti acara
tersebut. Aku hanya pergi ketika ada yang mengajakku pergi, disamping adanya
waktu yang memungkinkan aku pergi. Tapi kepenatn yang ku terima akhir-akhir ini
mengharuskan aku pergi ke sana.
Aku sudah tidak bisa lagi menumpuk semua hal di memoriku. Aku harus mengadakan
sebuah penataan ulang. Penataan memori agar mempermudah diriku dalam pencarian
sesudahnya. Seperti yang aku duga. Acara itu selalu memberiku sebuah makna.
Kemarin tema
yang diusung adalah tentang ke Indonesiaan kita. Ke Indonesiaan yang diukur
dari segi pemikiran bangsanya yang mana mulai kehilangan jati dirinya. Aspek
pertama yang disoroti adalah tentang system pendidikan yang ada di Indonesia.
System pendidikan yang dinilai sudah salah kaprah. Dimana bangsa kita selalu
mengidentikkan bahwa pendidikan = sekolah formal. Di sini terlihat adanya ketidakseimbangan
antara peran institusi pendidikan. Padahal institusi pendidikan tidak hanya sekolah
formal, lingkungan merupakan salah satu institusi pendidikan juga, terlebih
keluarga. Keluarga adalah institusi pendidikan pertama yang kita terima. Peran
dari institusi ini seharusnya benar-benar dipertimbangkan mengingat keluarga
adalah institusi yang paling dekat dan sangat membantu dalam pembentukan
karakter suatu individu. Namun kenyataan di negeri kita ini tidak demikian,
peran keluarga hampir dianggap tidak ada dan tidak penting. Yang berhak
memberikan suatu pendidikan, dengan kata lain membentuk kepribadian seorang
individu adalah sekolah, yang sayangnya mendasarkan segala sesuatu pada nilai
akademik. Disinilah sering terjadi suatu pembunuhan karakter. Seorang individu
dipaksa untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh pendidik yang ada di
sekolah. Dimana semakin baik nilai yang mereka peroleh, maka ada jaminan dialah
individu yang unggul. Sedang yang mendapat nilai jelek adalah pribadi yang
tidak unggul. Sekolah sering melupakan bahwa tiap individu adalah unik dan yang
berhak menentukan suatu karakter adalah individu itu sendiri. Individu
mempunyai hak penuh untuk menentukan siapa dirinya dan harus bagaimana dirinya.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mengarahkan, menuntun, membimbing
dan mendampingi individu untuk menemukan dirinya, bukan memaksa individu untuk
menjadi pribadi yang dikehendaki suatu golongan. Pendidikan yang memanusiakan
manusia. Sehingga setiap individu mempunyai semangat ke-Indonesiaan, yaitu
suatu semangat yang seharusnya mendasarkan pada tiga prinsip, memanusiakan
manusia, meng-alamkan alam, meng-Allah-kan Allah.
Malang,8 Agustus 2009
Senin, 23 Juni 2014
Namanya Hafiz
Namanya Hafiz. Bocah laki-laki berusia 11 tahun. Pagi ceria
ini, dia menarik perhatianku.
Hari ini, aku bersama 20 orang anak-anak,
bermain sebuah permainan yang kami namakan “Kenalan, yuk!”. Permainan ini
sederhana dan bertujuan agar anak-anak belajar berinteraksi dengan temannya dan
lebih mengenal siapa teman mereka. Awal mula, saya bagikan sejumlah permen
kepada mereka (pada waktu itu sebanyak 7 buah) serta secarik kertas dan sebuah
pensil. Mereka bertugas untuk mencari tahu identitas teman mereka (nama
lengkap, usia, alamat, dan cita-cita) yang kemudian mereka tulis pada kertas
yang telah dibagikan. Setiap mendapatkan satu informasi mengenai seorang teman,
mereka wajib meberi hadiah satu permen kepada teman tersebut. Siapa yang
permennya habis terlebih dahulu, maka dialah pemenangnya. Mereka pun ramai lari
ke sana ke mari, saling barter permen, dan menggunakan trik masing-masing untuk
merayu temannya agar memberikan informasi mengenai dirinya (karena ini
dilombakan dan berhadiah, mereka pun cenderung agak pelit informasi kepada temannya.
Hehehe). Saya rasa mereka semua ingin menjadi pemenang.
Setelah 10 menit, terdapat 5 orang anak yang
maju dan memberikan hasil mereka. Dan mereka berlima inilah yang kemudian
menjadi pemenangnya. Anak-anak yang belum beruntung maju ke depan, menyerahkan
hasil dan sisa permen mereka. Saya pun memberi hadiah kepada 5 orang anak yang
beruntung dan membagikan permen secara merata ke masing-masing anak yang
mengikuti permainan ini.
Dan kemudian di situlah dia duduk. Menempel di
jendela, di belakang teman-temannya yang sedang melingkar dan saling bercerita
tentang hasil kertas mereka, Hafiz sedang membungkuk dan mencorat-coret
kertasnya. Aku mendatanginya. Dia tetap asik dengan kertasnya. Aku bertanya
padanya, apakah dia masih memiliki sisa permen, dia menjawab dengan masih
membungkuk menghadapi kertasnya bahwa permennya dititipkan seorang teman untuk dikumpulkan. Aku berdiam agak lama di depannya. Kemudian dia mendongak
dan mencolek seorang teman di dekatnya sambil bertanya tentang identitas sang
teman. Aku agak heran, karena permainan telah selesai. Aku bertanya padanya,
“Hafiz, Hafiz belum mengumpulkan kertas Hafiz? Permainan sudah selesai lho. Kalau
Hafiz belum lengkap, tidak apa-apa, kumpulkan saja kertasnya.” Masih asik
menulis tentang identitas sang teman yang dia dapatkan barusan, dia menjawab,
“Saya belum selesai. Saya masih mendapat empat.” Setelah berbicara demikian dia
berkeliling ke temannya dan menanyai beberapa orang lagi. Beberapa waktu
kemudian, dia mendatangiku dengan senyum sumringah sambil menyerahkan kertasnya,
“Saya sudah selesai”. Aku tersenyum dan memberinya permen. Dia cengar-cengir
dan kemudian duduk diantara temannya sambil menunjukkan permennya.
Aku amati satu persatu kertas-kertas mereka.
Kecuali 5 orang yang berhasil mendapatkan 7 informasi mengenai temannya,
anak-anak yang lain belum menyelesaikan dengan sempurna tugas mereka. Ada yang
mendapat 4, 5, dan 6. Mereka mengumpulkan tugas mereka begitu tahu bahwa hadiah
sudah dimenangkan oleh 5 orang yang selesai bersamaan tadi. Tapi tidak Hafiz. Dia tetap merampungkannya. Selesai sampai mendapat 7 identitas temannya.
Dia seperti berkata secara tidak langsung kepadaku, “Tugas saya akan rampung
meskipun saya tidak menjadi pemenang dan mendapat hadiah”. Yah, aku memang tak
memberi batasan waktu. Aku hanya menginstruksikan yang menghabiskan permen
terlebih dahulu, yang juga berarti mendapatkan 7 informasi mengenai temannya,
dia lah pemenangnya. Hafiz tetap merampungkan tugasnya meskipun dia bukan
pemenang. Aku tersenyum padanya, di dalam hati aku berkata, “Kamu sudah menang,
Hafiz”.
Pangkal Pinang, 9 Juni 2014
Ariera
Kamis, 19 Juni 2014
Ketika ada Kabar Dolly ditutup
Hari ini saya mendengar Dolly akan
ditutup. Yah, Dolly, begitu mendengar nama ini pikiran sontak langsung mengarah
ke satu maksud, tempat prostitusi, bahasa sederhananya demikian. Saya setuju
Dolly ditutup, tapi yang tidak saya setuju reaksi segelintir manusia di luar
arena yang kemudian mulai menggunakan takaran dosa untuk menyatakan kata setuju
mereka. Dosa, menurut saya kurang adil jika kita mengukur kehidupan manusia
lain berdasarkan dosa. Karena, setiap manusia tidak ada yang mempunyai takaran
dosa yang pas untuk mengukur dosa orang lain. Itu tidak bijaksana untuk
menyatakan kepedulianmu kepada saudaramu, bung! Hehehe.
Saya lebih senang jika kita
memandang dari sisi kemanusiaan saja. Saya setuju dilakukan penutupan karena
mereka (para pekerja di dalam arena) berhak untuk memperoleh pekerjaan yang
lebih layak lagi. Saya memandang kelayakan ini dari beberapa hal:
1.
Security and healthy
Keamanan
dan kesehatan. Pekerjaan yang melibatkan hubungan seks dengan berganti-ganti
pasangan, kurang menjamin keamanan dan kesehatan. Penularan berbagai penyakit
dapat terjadi. Selain itu, apakah pekerjaan tersebut juga ada jaminan keamanan
untuk para pekerjanya? Dari kekerasan paling tidak. Tidak hanya kekerasan
fisik, tetapi juga kekerasan psikis. Apakah ada yang menjamin mereka akan
terhindar dari itu?
2. Apresiasi
Pekerjaan
ini hampir tidak mendatangkan apresiasi saya rasa. Menurut saya, sebagian besar
para klien/ pemakai jasa, datang dan membayar bukan untuk mengapresiasi hasil
kerja mereka. Mereka datang untuk kepentingan “urusan” pribadi, untuk memuaskan
suatu “insting atau kebutuhan dasar” mereka. Mereka (para pekerja) lebih layak
memperoleh pekerjaan yang akan mendatangkan apresiasi buat mereka.
3. Perkembangan anak-anak dan kehidupan
keluarga mereka
Anak-anak
layak memperoleh lingkungan yang baik untuk perkembangan mereka, tak terkecuali
anak-anak para pekerja di Dolly. Anak-anak membutuhkan figur yang ajeg mengenai
orang tua mereka. Figur yang kemudian akan menjadi panutan (role model) bagi mereka. Memperoleh area
yang layak bagi mereka untuk bermain dan belajar. Area bermain dan belajar yang
mendukung tahap perkembangan mereka.
Saya percaya setiap kita mempunyai sisi-sisi kemanusiaan yang sama, yang
lebih bijaksana untuk dijadikan sebuah alasan untuk mendukung kebijakan ini.
Sebuah alasan yang lebih manusiawi dan menghargai kehidupan mereka (para
pekerja di Dolly). Yang lebih adil, dibanding jika menggunakan takaran dosa.
Saya rasa tidak ada yang terlalu berkenan jika dosa-dosanya sudah mulai
dibanding-bandingkan, diukur, ditimbang-timbang, untuk memandang kualitas
hidupnya.
Selamat siang, tetap selamat berbagi, dan
semoga kehidupan anda semakin bahagia ^_^
Pangkal Pinang, 19 Juni 2014
Ariera
Minggu, 15 Juni 2014
Olahraga Suara di Foodcourt
Hari ini ceritanya meliburkan diri jadi emak-emak. Dan diputuskanlah untuk jalan-jalan, wasting time, just myself and I.
Memutuskan untuk munyer-munyer di area perbelanjaan. Setelah celinguk sana sini seperti emak-emak hilang, tertangkap sesosok sarung bantal bergelantungan cantik. Kemudian terbayang satu-satunya sarung bantal di rumah. Warna birunya sudah semakin mengusam mempesona. Aha, maka diputuskan untuk ambil satulah. Toh butuh. Yah ujung-ujungnya tetep aktivitas emak-emak juga sih. Keluar dari toko dengan membawa sebuah sarung bantal dan sprei (nah kok nambah satu belanjaan? Maklumlah ya emak-emak, selalu saja merasa ada yang dibutuhkan. Hihihi), tiba-tiba perut keroncongan. Baiklah perut, mari kita makan dulu.
Masuk ke salah satu Mall (eh apa memang cuma ini ya Mallnya?), segera menuju foodcourt. Setelah pesan Tekwan dan jus toberi, segera menuju kasir dan mencari tempat duduk sembari menunggu pesanan datang. Tak berapa lama terdengar teriakan, "Tekwan, Ibuk" disusul dengan teriakan dari arah yang lain "Adek, jusnya, cantik" berkali-kali dan kencang. Wow, aku terkejut bin malu. Apa sedari tadi ya aku dipanggil tapi ga kedengeran, atau seharusnya aku tadi tunggu di tempat pemesanan, kok sampai-sampai diteriaki gitu. Dengan muka malu, aku ambil pesananku.
Ternyata tak berapa lama, teriakan-teriakan macam itu semakin sering kudengar dan semakin ramai, karena pengunjung foodcourt semakin banyak berdatangan. Hooo, setelah kuperhatikan, ternyata itu adalah cara penjual untuk memanggil pemesan dagangannya tadi. Wah, kaget juga. Karena cara unik seperti ini baru kujumpai di foodcourt sini. Yang aku tahu, biasanya setelah memesan, pembeli tinggal menunggu pesanannya diantar ke mejanya. Yah yah yah.. Cuma sekarang yang aku pikirkan adalah pasti repot para penjual ini teriak-teriak seharian. Apalagi kalau pembeli memilih tempat duduk yang jauh dari stan mereka. Baiklah mungkin di tempat lain para pramusaji foodcourt akan berolahraga fisik, di sini pramusaji berolahraga suara. Lebih sehat mana, silahkan diadakan surveynya bagi yang penasaran. Hehehe..
Memutuskan untuk munyer-munyer di area perbelanjaan. Setelah celinguk sana sini seperti emak-emak hilang, tertangkap sesosok sarung bantal bergelantungan cantik. Kemudian terbayang satu-satunya sarung bantal di rumah. Warna birunya sudah semakin mengusam mempesona. Aha, maka diputuskan untuk ambil satulah. Toh butuh. Yah ujung-ujungnya tetep aktivitas emak-emak juga sih. Keluar dari toko dengan membawa sebuah sarung bantal dan sprei (nah kok nambah satu belanjaan? Maklumlah ya emak-emak, selalu saja merasa ada yang dibutuhkan. Hihihi), tiba-tiba perut keroncongan. Baiklah perut, mari kita makan dulu.
Masuk ke salah satu Mall (eh apa memang cuma ini ya Mallnya?), segera menuju foodcourt. Setelah pesan Tekwan dan jus toberi, segera menuju kasir dan mencari tempat duduk sembari menunggu pesanan datang. Tak berapa lama terdengar teriakan, "Tekwan, Ibuk" disusul dengan teriakan dari arah yang lain "Adek, jusnya, cantik" berkali-kali dan kencang. Wow, aku terkejut bin malu. Apa sedari tadi ya aku dipanggil tapi ga kedengeran, atau seharusnya aku tadi tunggu di tempat pemesanan, kok sampai-sampai diteriaki gitu. Dengan muka malu, aku ambil pesananku.
Ternyata tak berapa lama, teriakan-teriakan macam itu semakin sering kudengar dan semakin ramai, karena pengunjung foodcourt semakin banyak berdatangan. Hooo, setelah kuperhatikan, ternyata itu adalah cara penjual untuk memanggil pemesan dagangannya tadi. Wah, kaget juga. Karena cara unik seperti ini baru kujumpai di foodcourt sini. Yang aku tahu, biasanya setelah memesan, pembeli tinggal menunggu pesanannya diantar ke mejanya. Yah yah yah.. Cuma sekarang yang aku pikirkan adalah pasti repot para penjual ini teriak-teriak seharian. Apalagi kalau pembeli memilih tempat duduk yang jauh dari stan mereka. Baiklah mungkin di tempat lain para pramusaji foodcourt akan berolahraga fisik, di sini pramusaji berolahraga suara. Lebih sehat mana, silahkan diadakan surveynya bagi yang penasaran. Hehehe..
Sabtu, 15 Maret 2014
Catatan Kecil...
Pernikahan? Apa itu pernikahan? Dari
beberapa jawaban yang kudengar, pernikahan adalah penyatuan dua orang dalam
suatu lembaga yang sah. Benarkah demikian?
Hampir dua tahun sudah saya
melibatkan diri dalam hal yang bernama pernikahan. Alhamdulillah, saya diberi
partner/ pasangan/ teman/ soulmate/ suami yang berbeda dengan saya, sehingga
paling tidak kemudian membuat saya bertanya-tanya dan mau belajar lagi tentang
apa itu pernikahan. Yups, kami berbeda. Paling tidak perbedaan mendasar kami
adalah dia laki-laki dan saya perempuan. Hahaha.
Semakin
ke sini semakin seru, karena saya adalah tipikal orang yang tak mungkin tak
mempertanyakan sesuatu (gampang penasaran dan sok ingin tahu). Bahkan ketika
kemudian saya sadar bahwa saya dan partner saya “saling melengkapi (baca:
berbeda)”, saya kemudian berpikir ulang, ‘Apa iya dengan menikah orang dapat
menyatu? Dan apakah memang mungkin manusia dapat menyatu? Dan apakah memang
akan asik jika kita menikah dengan orang yang kemudian akan menyatu dengan
kita? Dan kenapa kita selalu terkaget-kaget ketika mendapati partner kita
berbeda dengan kita?’
Teringat
suatu ulasan dari seorang pengajar tentang pernikahan. Beliau bertanya kepada
kami, para mahasiswa yang selalu bersemangat memasuki kelas untuk mempelajari
dirinya sendiri, “Apa itu pernikahan?”, dan seperti yang saya utarakan di atas,
beberapa dari kami kemudian menjawab bahwa pernikahan adalah penyatuan. Beliau
tersenyum simpul sambil kemudian bercerita tentang kehidupan pernikahannya
dengan sang istri. Beliau mengatakan dirinya tak pernah memaksakan diri untuk
menyatu dengan diri sang istri, dan tidak memaksa sang istri untuk menyatu
dengan dirinya. Beliau hanya berharap, beliau dan sang istri dapat saling
berdampingan, saling mengiringi, saling men-support
diri masing-masing untuk menjadi sebaik-baik diri mereka sendiri, dan kehidupan
pernikahan beliau kemudian penuh warna. Yah, banyak warna, dan bukan
keseragaman, karena mereka tak pernah memaksa untuk menyatukan diri mereka,
mereka hanya saling mengisi. Sang pengajar lebih senang menyebutnya dengan
“saling toleransi”.
Saya
rasa itulah kuncinya, saling toleransi. Ketika kita dapat menghargai pribadi
partner kita, menghargai konflik yang kemudian timbul karena perbedaan yang
ada, dan menghargai betapa partner kita pun sedang mencoba belajar hal yang
sama dengan kita, belajar tentang pengalaman yang disebut pernikahan. Kita
selalu bisa toleransi. Sekali lagi toleransi, bahkan terhadap konflik yang
kemudian timbul, seperti yang saya katakan sebelumnya.
Kita
perlu toleransi dengan konflik, bukannya takut ketika konflik muncul. Kita
menganggap konflik adalah buah manis dari adanya perbedaan, dan tak perlu
tergesa-gesa menghindari. Konflik tak akan selesai ketika kita menghindarinya
dan menganggapnya masalah. Rangkul sang konflik, toleransilah dengan
keberadaannya dan kemudian tertawalah untuknya. Selesaikan dengan menganggapnya
merupakan suatu kewajaran. Bukan menyelesaikan dengan menganggapnya sebagai
masalah, karena ketika hal itu muncul lagi, maka kau akan mempengaruhi dirimu
dengan anggapan bahwa pernikahanmu sedang bermasalah.
Denial tak pernah selesai atau takkan
penah menjadi “ending”, denial akan selalu menjadi “to be continued”. Oke, apakah alur saya
mulai melompat-lompat? Maafkan saya, dan saya mohon toleransilah.. Hahaha…
Saya
pun belum tahu definisi tepat pernikahan seperti apa, tapi saya sependapat
dengan sang pengajar, bahwa kunci dari pernikahan adalah toleransi. Ada satu
kutipan yang saya suka tentang pernikahan, dalam buku Tuesdays with Morrie (ini buku suami saya yang secara rahasia saya
corat-coret karena saya menyukai kutipan ini :p) “Ada beberapa aturan yang
menurutku berlaku untuk cinta dan pernikahan: Kalau kita tidak menghormati
pihak yang lain, kita akan mendapatkan banyak masalah. Kalau kita tidak tahu
cara berkompromi, kita akan mendapatkan banyak masalah…” “menurutku pernikahan
adalah babak sangat penting yang perlu kita lalui, dan kita akan kehilangan
banyak sekali kalau kita tidak mencobanya.” (Albom, 1997).
Dan
bagaimana akhir dari pernikahan saya, saya tidak tahu. Tapi saya tahu, ini akan
menjadi suatu perjalanan yang menyenangkan. The
incredible journey…
Ariera
Pangkal Pinang, 11 Maret 2014
Kamis, 06 Maret 2014
Aku ingin Bercerita
Hanya sedang ingin menulis. Beberapa
hari ini aku liburan. Yah, liburan. Huaaaahhh.. its so nice setelah menutup
tahun kemarin dengan “sempurna”. Aku kembali pulang, kembali ke muaraku,
kembali ke diriku yang sebenarnya lagi. Gadis kecil yang lebih suka berkhayal
ketimbang menulis laporan ilmiah, lebih suka “dolan ngalor ngidul” ketimbang
berdiam diri di laboratorium untuk suatu eksperimen, lebih suka tidur ketimbang
menyapu (hehehe, apaan sih ini). Tapi entahlah, menurutku semuanya seperti “Aku”.
“Aku”… teringat mata kuliah Filsafat
Manusia di awal semester kuliah. Pada waktu itu ada satu pertanyaan yang sering
“diulang-ulang” oleh Sang Dosen dan Asisten Dosen, “Siapa Aku?”. Hmm.. sempat
puyeng juga karena dari satu pertanyaan itu jawaban akan terus berputar-putar
dan seperti tak ada pangkal. Sempat gedeg karena aku kelaparan di dalam kelas
kebanyakan berpikir “Siapa Aku?” Waktu itu ingin sekali kujawab, Aku adalah
tubuh yang kelaparan dan akan mudah mengeluarkan cacian ketika perut tak segera
diberi sumpalan. Hahaha.
“Siapa Aku?”, kira-kira jawaban apa
yang akan kalian keluarkan ketika kalian diberi pertanyaan ajaib tersebut.
Apakah kalian akan menjawab dengan menyebutkan identitas kalian (nama, status,
usia misalnya), atau akan menyebutkan sifat-sifat kalian? Beberapa film yang
pernah kutonton juga sempat membahas tentang “Siapa Aku?” ini. Film pertama
yang kulihat adalah “Spiderman”
dengan “Who am I?” nya. Film kedua “Anger Management” dengan “Who are Dave Buznik (tokoh utama dalam
film tersebut)”, dan dikedua film tersebut tak disebutkan jawaban nyata bagaimana
harus menjawab dan apa jawaban dari “Siapa Aku?”. Maka semakin puyenglah aku.
Aku pun sempat berpikir, bagaimana
aku bisa berjalan mondar mandir ke sana kemari sementara aku tak pernah
mengetahui “Siapa Aku?”, lalu apa bedanya aku dengan orang-orang yang diberi
title gila oleh para ahli jiwa jika kami sama-sama tak bisa menjawab “Siapa
Aku?”. Atau mungkin malah akan bertukar posisi jika (siapa tahu) justru mereka
bisa menjawab dengan mudah.
Apakah aku akan menjadi “Aku” jika
aku menjawab “Siapa Aku?” dengan menyebutkan identitasku. Jika memang demikian,
apakah “Aku” tak permanen karena identitasku pun tak permanen. Dan apakah aku
akan menjadi “Aku” jika jawaban yang kukeluarkan adalah sifat-sifatku (atau
mungkin hal yang kukira adalah sifat-sifatku), dan bagaimana aku bisa yakin
bahwa yang kusebut adalah benar-benar sifat-sifatku? Tapi jika memang itu
sifat-sifatku apakah berarti aku adalah bagian “Aku” yang lain, karena mungkin
manusia lain juga memiliki sifat-sifat yang kupunya, apakah aku adalah bagian
dari beberapa “Aku”?
Tapi setelah peristiwa tahun lalu
yang kulewati, saat ini aku merasa seperti menjadi “Aku”. Bagaimana cara aku
menjawabnya (ini tak mutlak untuk semua orang), aku menjawab pada diriku sendiri,
aku adalah tubuh dan jiwa yang menyatu. Ketika apa yang tubuhku kehendaki, jiwaku
pun menghendakinya. Ketika jiwaku bisa mengeluarkan dirinya melalui tubuh. Tak
berjalan timpang diantara keduanya. Yah bahasa mudahnya, aku merasa nyaman ketika melakukan suatu hal. Atau ketika aku melakukan suatu pekerjaan, aku memang menghendaki pekerjaan itu. Sudah, sesederhana dan seaneh itu. Sudah,
itulah “Aku”. Dan tak seharusnya aku takut untuk menjadi "Aku".
Apakah aku masih puyeng, yah aku
masih puyeng. Aku masih puyeng karena ketika akan mengakhiri tulisan ini aku
tak tahu apa maksudku menuliskan ini. Dan apa maksudku menceritakan ini pada
kalian. Tapi percayalah, aku tak ingin membagi kepuyenganku dengan kalian. Aku hanya
ingin menyapa ke”Aku’an yang ada pada kalian. Karena mungkin, aku adalah bagian
dari “Aku” kalian. Selamat pagi, “Aku”.
Langganan:
Postingan (Atom)