"Sebagian dari kita suka mengeluhkan kedatangan hujan. Tapi bagaimana dengan dia. Seorang tua kumal yang menyandarkan hidupnya pada beberapa tetes getah"
Dia terduduk di rerumputan. Di bawah tanaman yang tak begitu rindang, dia berteduh. Sepertinya tadi dia kepanasan. Dia tersembunyi. Orang lain yang tak "melek" penglihatannya tak mungkin melihat keberadaannya. Bajunya kumal dengan genre warna yang tak jelas. Rambut dan jenggotnya awut-awutan. Dibiarkan saja rambut itu tergerai di atas bajunya yang compang-camping. Celananya... hiasan tambalan dimana-mana. Gelandangan, begitulah biasanya dia disebut.
Dia kemudian berdiri dan menengadahkan tangan kesana-kemari. Satu... tak diberi... Dua... tak diberi... Tiga.. tak diberi. Hanya segelintir orang yang tak menggeleng. Dan hanya sejubel orang yang menyingkir risih.
Dia pergi. Dia tertatih menuju pohon didekatnya. Dia menelengkupkan badan hampir rata dengan tanah. Mulutnya ditempelkan pada dahan pohon. Dia mengginggit. Dan seperti vampire, dia mencecap getah pohon. Tak ada yang peduli. Hanya sesekali saja ada lirikan. Hanya sesekali saja ada lemparan recehan. Dan hanya sesekali saja ada sosok yang berdiri di sampingnya. Memanggil dia yang tanpa disengaja tak bernama. Dia menoleh. Mengulurkan tangan meraih uang kertas yang diulurkan sosok di sampingnya. "Alhamdulillah.. matur nuwun". Dia tersenyum lebar. Senyum seperti pengacara berhasil memenangkan suatu kasus. Senyum seperti ketika seorang calon presiden menang dalam pemilihan umum. Senyum seperti para bapak berdasi di atas sana yang berhasil memenangkan "project rahasia" mereka.
Hujan turun. Deras. Orang-orang beranjak pergi. Mencari tempat terlindung dari hujan. Tapi dia tetap di sana. Masih dengan senyumnya. Masih dengan selembar uang kertas dengan beberapa recehan. Dia menengadahkan kepalanya. Dia sekarang bisa minum puas dengan sahabatnya, sang tanaman penghasil getah yang biasa diminumnya. Hujan selalu dinantinya. Hujan adalah berkah untuknya. Dan hujan tak pernah menjadi penghambat eksistensinya. Dia hanya merasa dia membutuhkan sahabat dan getah yang dihasilkannya.
Alun-alun kota Malang
5 Desember 2011
(dan orang itu masih saja berkitar-kitar)
Tulisanmu enak dibaca ternyata :)
BalasHapusMengharukan, lihatlah betapa Allah Maha Adil.
Tidak pada materi/lahir mungkin.
Tapi pada hati/ruh/spirit
Dimana semua orang diberi rasa bahagia, susah, kelimpahan sesuai dengan kadarnya.
Beliau (diatas) bisa bersyukur luar biasa dengan hanya receh dan air hujan bahkan getah mungkin.
Tapi kita yang kelimpahan materi/lahir, ngomel2 saat Steak dan Just Jeruk yang kita pesan terlambat datang, bahkan saat sampai dilidah kitapun seperti tidak ada kenikmatan.
Apalah artinya kasur empuk kita kalau kita tidak bisa tidur nyenyak di atasnya, dan apa hinanya pula koran yang digelar diemper toko kalau yang empunya bisa tidur nyaman diatasnya.
'Sugih tanpo bondo'
'Berdamai dan bersyukur dengan apa adanya kita sekarang' sepertinya menjadi jalan keluar kita untuk awet berbahagia. :)
Bagaimana menurut anda?
akang... ngaputen baru buka...
BalasHapusmatur nuwon sudah mengunjungi rumah saya,,
blog mu apa
ternyata penjara tdk hanya berbentuk suatu hal yg menyiksa ya, terkadang rasa nyaman pun ternyata memenjarakan ^^