Aku bertemu
dengannya pertama kali di daftar nama mahasiswa. Namanya berada tepat di atas
namaku. Seorang laki-laki yang aku anggap sebagai seorang anteng tanpa
embel-embel banyak tingkah dalam hidupnya. Jarang sekali berinteraksi dengannya
pada awal mula. Dia seseorang yang penuh dengan kedamaian. Mengapa demikian?
Karena dia benar-benar irit omong. Si “Muka tanpa Ekspresi”, julukan yang
sempat tersemat padanya.
Akhir-akhir ini banyak sekali
kejutan-kejutan yang dia beri kepada kami, terutama aku. Dia sudah pandai
mengeluarkan aksi-aksi protes. Dimulai dari protesan kecil yang keluar dari
lisannya tentang perilaku teman-teman mahasiswa yang dianggapnya aneh, perbedaan
pendapat di kelas, dan kritikan-kritikan lain yang menurutku bukan sekedar
kritikan tak mutu dari lisan tak bertanggungjawab.
Entah bagaimana, aku lupa, aku
mulai sering interaksi dengannya, dan aku sering ditraktir makan olehnya
(mungkin ini alasan aku betah dekat dengan dia, hehehe). Aku sering dapat
kata-kata sederhana dari dia, baik berupa guyonan, saran, kritik, protes,
ejekan, segala rupalah pokoknya. Tapi justru itu yang membuat aku semakin
nyaman berteman dengan dia.
Puncak dari ini adalah kemarin. Aku
nyeletuk kepadanya, “Aku kepengen ke Mandalawangi. Ayo kapan-kapan ajak aku ke
sana ya.” Dia menanggapiku dengan mengiyakan permintaanku, sekalian main bareng
dengan teman-teman katanya. Lalu dia bertanya, “Kenapa kok tiba-tiba pengen ke
sana?” Aku bilang padanya karena Soe Hok Gie pernah ke sana. “Aku suka dengan
Gie,” tambahku. Setelah itu kami bahas beberapa hal sebelum akhirnya dia
mengajakku ke kontrakan salah seorang teman cowok, si penyuka buku seperti aku,
Candra. Sesampai di depan rumah Candra dia bilang “Ini sudah sampai rumah Gie.
Tuh si Gie,” seraya menunjuk Candra yang sedang membukakan pintu. Aku tersenyum
geli. Yah, Candra memang seorang penyuka buku, yang pemikirannya pun tidak bisa
dianggap sepele. Dia punya buku-buku sastra yang OK. Aku di sana benar-benar
senang, ketawa-ketiwi dengan mereka, dan ngobrol ngalor-ngidul. Mulai dari
pembicaraan biasa-biasa saja sampai pembicaraan yang agak tidak biasa.
Ketika pulang, aku dikagetkan
oleh sesuatu. Di perjalanan pulang aku melewati sebuah jalan dengan papan nama
jalan bertuliskan Jl. Mandalawangi. ”Keinginanmu
sudah terwujud kan” katanya tanpa ekspresi. Subhanallah, aku banyak belajar
makna kesederhanaan dari dia. Dia mengajarkan aku untuk membaca simbol-simbol
sederhana yang diberikan oleh Allah. Hal sederhana mempunyai banyak makna, dan
kita harus menghargainya.
Terima kasih buat kamu yang akhir-akhir ini sering kubikin jengkel dan
sering kurepoti dengan permintaan-permintaan manjaku. Terima kasih buat kamu, karena telah mengajarkan banyak makna
buatku di balik kesederhanaanmu.
Malang, 21 Mei
2010
Thank’s to
Ardana Aji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar