Jumat, 16 Desember 2011

Dia dan Sederhananya


Aku bertemu dengannya pertama kali di daftar nama mahasiswa. Namanya berada tepat di atas namaku. Seorang laki-laki yang aku anggap sebagai seorang anteng tanpa embel-embel banyak tingkah dalam hidupnya. Jarang sekali berinteraksi dengannya pada awal mula. Dia seseorang yang penuh dengan kedamaian. Mengapa demikian? Karena dia benar-benar irit omong. Si “Muka tanpa Ekspresi”, julukan yang sempat tersemat padanya.

Dulu aku sering mengingatkan dia untuk “memasang ekspresi” di setiap aksinya. Tapi dia hanya tersenyum tenang. Bukan hanya aku yang sering melontarkan aksi protes padanya, dan bukan hanya aku juga yang sering gondok hanya dapat senyuman tenang sebagai balasan dari aksi protes kita.


Akhir-akhir ini banyak sekali kejutan-kejutan yang dia beri kepada kami, terutama aku. Dia sudah pandai mengeluarkan aksi-aksi protes. Dimulai dari protesan kecil yang keluar dari lisannya tentang perilaku teman-teman mahasiswa yang dianggapnya aneh, perbedaan pendapat di kelas, dan kritikan-kritikan lain yang menurutku bukan sekedar kritikan tak mutu dari lisan tak bertanggungjawab.

Awalnya aku kaget waktu dia mengutarakan ketidaksetujuannya tentang perilaku teman-teman mahasiswa yang terlalu mengumbar almamater, “sedikit-sedikit membawa simbol almamater dalam setiap aksi, bahkan hanya untuk aksi jalan-jalan muteri area GKB (gedung tempat kami kuliah), padahal aksi demo atau orasi mereka sudah selesai beberapa jam yang lalu”, begitulah lontaran itu meluncur dari mulutnya yang selama ini jarang sekali dia buka. Hal-hal demikian terus berlanjut, dan jadilah dia si “Muka Tanpa Ekspresi” yang baru. Dia juga mulai aktif ikut di organisasi.


Entah bagaimana, aku lupa, aku mulai sering interaksi dengannya, dan aku sering ditraktir makan olehnya (mungkin ini alasan aku betah dekat dengan dia, hehehe). Aku sering dapat kata-kata sederhana dari dia, baik berupa guyonan, saran, kritik, protes, ejekan, segala rupalah pokoknya. Tapi justru itu yang membuat aku semakin nyaman berteman dengan dia.

Puncak dari ini adalah kemarin. Aku nyeletuk kepadanya, “Aku kepengen ke Mandalawangi. Ayo kapan-kapan ajak aku ke sana ya.” Dia menanggapiku dengan mengiyakan permintaanku, sekalian main bareng dengan teman-teman katanya. Lalu dia bertanya, “Kenapa kok tiba-tiba pengen ke sana?” Aku bilang padanya karena Soe Hok Gie pernah ke sana. “Aku suka dengan Gie,” tambahku. Setelah itu kami bahas beberapa hal sebelum akhirnya dia mengajakku ke kontrakan salah seorang teman cowok, si penyuka buku seperti aku, Candra. Sesampai di depan rumah Candra dia bilang “Ini sudah sampai rumah Gie. Tuh si Gie,” seraya menunjuk Candra yang sedang membukakan pintu. Aku tersenyum geli. Yah, Candra memang seorang penyuka buku, yang pemikirannya pun tidak bisa dianggap sepele. Dia punya buku-buku sastra yang OK. Aku di sana benar-benar senang, ketawa-ketiwi dengan mereka, dan ngobrol ngalor-ngidul. Mulai dari pembicaraan biasa-biasa saja sampai pembicaraan yang agak tidak biasa.

Ketika pulang, aku dikagetkan oleh sesuatu. Di perjalanan pulang aku melewati sebuah jalan dengan papan nama jalan bertuliskan Jl. Mandalawangi. ”Keinginanmu sudah terwujud kan” katanya tanpa ekspresi. Subhanallah, aku banyak belajar makna kesederhanaan dari dia. Dia mengajarkan aku untuk membaca simbol-simbol sederhana yang diberikan oleh Allah. Hal sederhana mempunyai banyak makna, dan kita harus menghargainya. 

Terima kasih buat kamu yang akhir-akhir ini sering kubikin jengkel dan sering kurepoti dengan permintaan-permintaan manjaku. Terima kasih buat kamu, karena telah mengajarkan banyak makna buatku di balik kesederhanaanmu.

Malang, 21 Mei 2010
Thank’s to Ardana Aji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar