S
|
elama beberapa bulan ini
saya bersama teman-teman Psikologi Sosial yang lain sedang asik bermain-main di
jalanan. Kami sedang melaksanakan sebuah project
kecil-kecilan. Sasaran kami adalah para pengemis dan anak jalanan. Awal mula
bertemu mereka, seperti kebanyakan orang-orang, kami (terutama saya) menganggap
mereka adalah sekumpulan orang-orang yang sudah terbiasa “bergantung” pada
jalanan. Sekumpulan anak-anak yang kurang beruntung dan terpaksa bersahabat
dengan jalanan. Mereka hidup tanpa pilihan, dan terpaksa dihadapkan pada
pilihan jalanan.
“Impian”,
demikianlah mereka menggembar-gemborkannya. Satu kata kecil itulah yang
menyulut kesadaran mereka untuk hidup di jalanan. Mereka menikmatinya demi
recehan yang disandarkan pada “impian”. Untuk sekolah, untuk eksistensi diri,
untuk mencari kenyamanan yang tidak di dapat di rumah, dan untuk-untuk yang
lain yang mereka utarakan.
Mereka
adalah “petualang” jalanan, bukan berarti tanpa impian. Jalanan memberikan
banyak mimpi untuk mereka, jalanan menyadarkan mereka bahwa mereka mempunyai
impian. Mereka tetaplah anak bangsa seperti kita, dengan kekayaan mimpi yang
mereka punya, hanya tempatlah yang membedakannya. Jalanan bukan berarti tanpa
kesadaran, bukan berarti orang urakan, bukan berarti tanpa pelajaran. Mereka
sama dengan kita, pelajar yang haus tentang ilmu kehidupan, yang selalu
bertanya tentang hidup. Mereka bukan orang miskin, mereka kaya, kawan. Kaya
dengan “impian” mereka.
Mereka
hanya sedang memuaskan kegelisahan mereka sebagai manusia. Sedang berusaha
mencari “siapa dirinya”, memuaskan ego mereka tentang “impian”. Mereka adalah sahabat kita, saudara kita,
sama dengan kita.
Ketika
menuliskan tulisan acak adul ini, saya merasa malu, membuat tulisan seperti ini
saja saya acak adul, menunjukkan ketidakjelasan konsep berpikir saya. Tetapi
mereka, mereka telah tahu akan seperti apa nantinya hidup mereka. Mau jadi
manusia seperti apa mereka. Seorang pengemis anak-anak pernah berkata kepada
saya, “Saya mau sekolah, saya mau jadi pintar, saya ingin punya uang banyak
untuk membantu ibu membelikan saya LKS. Saya ingin menjadi seorang guru”. Di
lain tempat seorang anak jalanan berkata kepada saya, “Saya hanya ingin menjadi
orang yang berguna. Orang berguna sudah pasti sukses. Tapi orang sukses belum
tentu berguna.” Begitu sederhananya kata-kata itu. Tetapi terkandung makna yang
membuat saya tertampar. Menyadarkan saya akan kesombongan-kesombongan yang
selama ini saya bangun. Menjadi orang sukses, selalu menjadi target awal hampir
semua orang. Dan mungkin kita hampir melupakan untuk menjadi orang yang
berguna.
Dari
mereka sebenarnya banyak ilmu kehidupan yang kita peroleh. Kita belajar untuk
menjadi manusia sederhana, untuk sejenak merebahkan kesombongan dan
ambisi-ambisi kita. Belajar untuk tidak pamrih, dan belajar untuk tetap percaya
pada impian kita.
Sekali
lagi, mereka tetap sama dengan kita, mereka hidup di jalanan dengan kesadaran,
dan mereka tetaplah anak bangsa.
Marilah
kita ulurkan tangan persahabatan kita. Bersama mereka berbagi impian. Bersama
mereka belajar tentang ilmu kehidupan. Bersama mereka berbagi senyuman,
meskipun tanpa recehan.