Senin, 11 Juni 2012

Di Jalan Tak Berarti Tak punya Impian

S
elama beberapa bulan ini saya bersama teman-teman Psikologi Sosial yang lain sedang asik bermain-main di jalanan. Kami sedang melaksanakan sebuah project kecil-kecilan. Sasaran kami adalah para pengemis dan anak jalanan. Awal mula bertemu mereka, seperti kebanyakan orang-orang, kami (terutama saya) menganggap mereka adalah sekumpulan orang-orang yang sudah terbiasa “bergantung” pada jalanan. Sekumpulan anak-anak yang kurang beruntung dan terpaksa bersahabat dengan jalanan. Mereka hidup tanpa pilihan, dan terpaksa dihadapkan pada pilihan jalanan.

        Ternyata tidak semua anggapan yang saya pikirkan adalah benar. Mereka memang tetap anak-anak dan remaja biasa yang mempunyai pekerjaan “luar biasa”. Tapi mereka bukanlah tanpa pilihan atau bahkan terpaksa memilih jalanan, mereka melakukannya dengan kesadaran. Yah, makhluk-makhluk mungil itu melakukannya dengan kesadaran, mengambil keputusan itu  dengan kesadaran yang dipunyainya, dengan pandangan-pandangan yang mungkin berbeda sisi dengan kita. Kesadaran itu mereka dasarkan pada “impian”.
      “Impian”, demikianlah mereka menggembar-gemborkannya. Satu kata kecil itulah yang menyulut kesadaran mereka untuk hidup di jalanan. Mereka menikmatinya demi recehan yang disandarkan pada “impian”. Untuk sekolah, untuk eksistensi diri, untuk mencari kenyamanan yang tidak di dapat di rumah, dan untuk-untuk yang lain yang mereka utarakan.
      Mereka adalah “petualang” jalanan, bukan berarti tanpa impian. Jalanan memberikan banyak mimpi untuk mereka, jalanan menyadarkan mereka bahwa mereka mempunyai impian. Mereka tetaplah anak bangsa seperti kita, dengan kekayaan mimpi yang mereka punya, hanya tempatlah yang membedakannya. Jalanan bukan berarti tanpa kesadaran, bukan berarti orang urakan, bukan berarti tanpa pelajaran. Mereka sama dengan kita, pelajar yang haus tentang ilmu kehidupan, yang selalu bertanya tentang hidup. Mereka bukan orang miskin, mereka kaya, kawan. Kaya dengan “impian” mereka.
      Mereka hanya sedang memuaskan kegelisahan mereka sebagai manusia. Sedang berusaha mencari “siapa dirinya”, memuaskan ego mereka tentang “impian”.  Mereka adalah sahabat kita, saudara kita, sama dengan kita.
      Ketika menuliskan tulisan acak adul ini, saya merasa malu, membuat tulisan seperti ini saja saya acak adul, menunjukkan ketidakjelasan konsep berpikir saya. Tetapi mereka, mereka telah tahu akan seperti apa nantinya hidup mereka. Mau jadi manusia seperti apa mereka. Seorang pengemis anak-anak pernah berkata kepada saya, “Saya mau sekolah, saya mau jadi pintar, saya ingin punya uang banyak untuk membantu ibu membelikan saya LKS. Saya ingin menjadi seorang guru”. Di lain tempat seorang anak jalanan berkata kepada saya, “Saya hanya ingin menjadi orang yang berguna. Orang berguna sudah pasti sukses. Tapi orang sukses belum tentu berguna.” Begitu sederhananya kata-kata itu. Tetapi terkandung makna yang membuat saya tertampar. Menyadarkan saya akan kesombongan-kesombongan yang selama ini saya bangun. Menjadi orang sukses, selalu menjadi target awal hampir semua orang. Dan mungkin kita hampir melupakan untuk menjadi orang yang berguna.
       Dari mereka sebenarnya banyak ilmu kehidupan yang kita peroleh. Kita belajar untuk menjadi manusia sederhana, untuk sejenak merebahkan kesombongan dan ambisi-ambisi kita. Belajar untuk tidak pamrih, dan belajar untuk tetap percaya pada impian kita.
      Sekali lagi, mereka tetap sama dengan kita, mereka hidup di jalanan dengan kesadaran, dan mereka tetaplah anak bangsa.
      Marilah kita ulurkan tangan persahabatan kita. Bersama mereka berbagi impian. Bersama mereka belajar tentang ilmu kehidupan. Bersama mereka berbagi senyuman, meskipun tanpa recehan.
     
(Malang, 24 Juni 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar