Senin, 23 Juni 2014

Namanya Hafiz



Namanya Hafiz. Bocah laki-laki berusia 11 tahun. Pagi ceria ini, dia menarik perhatianku.

Hari ini, aku bersama 20 orang anak-anak, bermain sebuah permainan yang kami namakan “Kenalan, yuk!”. Permainan ini sederhana dan bertujuan agar anak-anak belajar berinteraksi dengan temannya dan lebih mengenal siapa teman mereka. Awal mula, saya bagikan sejumlah permen kepada mereka (pada waktu itu sebanyak 7 buah) serta secarik kertas dan sebuah pensil. Mereka bertugas untuk mencari tahu identitas teman mereka (nama lengkap, usia, alamat, dan cita-cita) yang kemudian mereka tulis pada kertas yang telah dibagikan. Setiap mendapatkan satu informasi mengenai seorang teman, mereka wajib meberi hadiah satu permen kepada teman tersebut. Siapa yang permennya habis terlebih dahulu, maka dialah pemenangnya. Mereka pun ramai lari ke sana ke mari, saling barter permen, dan menggunakan trik masing-masing untuk merayu temannya agar memberikan informasi mengenai dirinya (karena ini dilombakan dan berhadiah, mereka pun cenderung agak pelit informasi kepada temannya. Hehehe). Saya rasa mereka semua ingin menjadi pemenang. 

Setelah 10 menit, terdapat 5 orang anak yang maju dan memberikan hasil mereka. Dan mereka berlima inilah yang kemudian menjadi pemenangnya. Anak-anak yang belum beruntung maju ke depan, menyerahkan hasil dan sisa permen mereka. Saya pun memberi hadiah kepada 5 orang anak yang beruntung dan membagikan permen secara merata ke masing-masing anak yang mengikuti permainan ini.

Dan kemudian di situlah dia duduk. Menempel di jendela, di belakang teman-temannya yang sedang melingkar dan saling bercerita tentang hasil kertas mereka, Hafiz sedang membungkuk dan mencorat-coret kertasnya. Aku mendatanginya. Dia tetap asik dengan kertasnya. Aku bertanya padanya, apakah dia masih memiliki sisa permen, dia menjawab dengan masih membungkuk menghadapi kertasnya bahwa permennya dititipkan seorang teman untuk dikumpulkan. Aku berdiam agak lama di depannya. Kemudian dia mendongak dan mencolek seorang teman di dekatnya sambil bertanya tentang identitas sang teman. Aku agak heran, karena permainan telah selesai. Aku bertanya padanya, “Hafiz, Hafiz belum mengumpulkan kertas Hafiz? Permainan sudah selesai lho. Kalau Hafiz belum lengkap, tidak apa-apa, kumpulkan saja kertasnya.” Masih asik menulis tentang identitas sang teman yang dia dapatkan barusan, dia menjawab, “Saya belum selesai. Saya masih mendapat empat.” Setelah berbicara demikian dia berkeliling ke temannya dan menanyai beberapa orang lagi. Beberapa waktu kemudian, dia mendatangiku dengan senyum sumringah sambil menyerahkan kertasnya, “Saya sudah selesai”. Aku tersenyum dan memberinya permen. Dia cengar-cengir dan kemudian duduk diantara temannya sambil menunjukkan permennya.

Aku amati satu persatu kertas-kertas mereka. Kecuali 5 orang yang berhasil mendapatkan 7 informasi mengenai temannya, anak-anak yang lain belum menyelesaikan dengan sempurna tugas mereka. Ada yang mendapat 4, 5, dan 6. Mereka mengumpulkan tugas mereka begitu tahu bahwa hadiah sudah dimenangkan oleh 5 orang yang selesai bersamaan tadi. Tapi tidak Hafiz. Dia tetap merampungkannya. Selesai sampai mendapat 7 identitas temannya. Dia seperti berkata secara tidak langsung kepadaku, “Tugas saya akan rampung meskipun saya tidak menjadi pemenang dan mendapat hadiah”. Yah, aku memang tak memberi batasan waktu. Aku hanya menginstruksikan yang menghabiskan permen terlebih dahulu, yang juga berarti mendapatkan 7 informasi mengenai temannya, dia lah pemenangnya. Hafiz tetap merampungkan tugasnya meskipun dia bukan pemenang. Aku tersenyum padanya, di dalam hati aku berkata, “Kamu sudah menang, Hafiz”.

Pangkal Pinang, 9 Juni 2014
Ariera

Kamis, 19 Juni 2014

Ketika ada Kabar Dolly ditutup



Hari ini saya mendengar Dolly akan ditutup. Yah, Dolly, begitu mendengar nama ini pikiran sontak langsung mengarah ke satu maksud, tempat prostitusi, bahasa sederhananya demikian. Saya setuju Dolly ditutup, tapi yang tidak saya setuju reaksi segelintir manusia di luar arena yang kemudian mulai menggunakan takaran dosa untuk menyatakan kata setuju mereka. Dosa, menurut saya kurang adil jika kita mengukur kehidupan manusia lain berdasarkan dosa. Karena, setiap manusia tidak ada yang mempunyai takaran dosa yang pas untuk mengukur dosa orang lain. Itu tidak bijaksana untuk menyatakan kepedulianmu kepada saudaramu, bung! Hehehe.
Saya lebih senang jika kita memandang dari sisi kemanusiaan saja. Saya setuju dilakukan penutupan karena mereka (para pekerja di dalam arena) berhak untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak lagi. Saya memandang kelayakan ini dari beberapa hal:
1.    Security and healthy
Keamanan dan kesehatan. Pekerjaan yang melibatkan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, kurang menjamin keamanan dan kesehatan. Penularan berbagai penyakit dapat terjadi. Selain itu, apakah pekerjaan tersebut juga ada jaminan keamanan untuk para pekerjanya? Dari kekerasan paling tidak. Tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis. Apakah ada yang menjamin mereka akan terhindar dari itu?
2.    Apresiasi
Pekerjaan ini hampir tidak mendatangkan apresiasi saya rasa. Menurut saya, sebagian besar para klien/ pemakai jasa, datang dan membayar bukan untuk mengapresiasi hasil kerja mereka. Mereka datang untuk kepentingan “urusan” pribadi, untuk memuaskan suatu “insting atau kebutuhan dasar” mereka. Mereka (para pekerja) lebih layak memperoleh pekerjaan yang akan mendatangkan apresiasi buat mereka.
3.    Perkembangan anak-anak dan kehidupan keluarga mereka
Anak-anak layak memperoleh lingkungan yang baik untuk perkembangan mereka, tak terkecuali anak-anak para pekerja di Dolly. Anak-anak membutuhkan figur yang ajeg mengenai orang tua mereka. Figur yang kemudian akan menjadi panutan (role model) bagi mereka. Memperoleh area yang layak bagi mereka untuk bermain dan belajar. Area bermain dan belajar yang mendukung tahap perkembangan mereka.
Saya percaya setiap kita mempunyai sisi-sisi kemanusiaan yang sama, yang lebih bijaksana untuk dijadikan sebuah alasan untuk mendukung kebijakan ini. Sebuah alasan yang lebih manusiawi dan menghargai kehidupan mereka (para pekerja di Dolly). Yang lebih adil, dibanding jika menggunakan takaran dosa. Saya rasa tidak ada yang terlalu berkenan jika dosa-dosanya sudah mulai dibanding-bandingkan, diukur, ditimbang-timbang, untuk memandang kualitas hidupnya.
Selamat siang, tetap selamat berbagi, dan semoga kehidupan anda semakin bahagia ^_^

Pangkal Pinang, 19 Juni 2014
Ariera

Minggu, 15 Juni 2014

Olahraga Suara di Foodcourt

Hari ini ceritanya meliburkan diri jadi emak-emak. Dan diputuskanlah untuk jalan-jalan, wasting time, just myself and I.

Memutuskan untuk munyer-munyer di area perbelanjaan. Setelah celinguk sana sini seperti emak-emak hilang, tertangkap sesosok sarung bantal bergelantungan cantik. Kemudian terbayang satu-satunya sarung bantal di rumah. Warna birunya sudah semakin mengusam mempesona. Aha, maka diputuskan untuk ambil satulah. Toh butuh. Yah ujung-ujungnya tetep aktivitas emak-emak juga sih. Keluar dari toko dengan membawa sebuah sarung bantal dan sprei (nah kok nambah satu belanjaan? Maklumlah ya emak-emak, selalu saja merasa ada yang dibutuhkan. Hihihi), tiba-tiba perut keroncongan. Baiklah perut, mari kita makan dulu.

Masuk ke salah satu Mall (eh apa memang cuma ini ya Mallnya?), segera menuju foodcourt. Setelah pesan Tekwan dan jus toberi, segera menuju kasir dan mencari tempat duduk sembari menunggu pesanan datang. Tak berapa lama terdengar teriakan, "Tekwan, Ibuk" disusul dengan teriakan dari arah yang lain "Adek, jusnya, cantik" berkali-kali dan kencang. Wow, aku terkejut bin malu. Apa sedari tadi ya aku dipanggil tapi ga kedengeran, atau seharusnya aku tadi tunggu di tempat pemesanan, kok sampai-sampai diteriaki gitu. Dengan muka malu, aku ambil pesananku.

Ternyata tak berapa lama, teriakan-teriakan macam itu semakin sering kudengar dan semakin ramai, karena pengunjung foodcourt semakin banyak berdatangan. Hooo, setelah kuperhatikan, ternyata itu adalah cara penjual untuk memanggil pemesan dagangannya tadi. Wah, kaget juga. Karena cara unik seperti ini baru kujumpai di foodcourt sini. Yang aku tahu, biasanya setelah memesan, pembeli tinggal menunggu pesanannya diantar ke mejanya. Yah yah yah.. Cuma sekarang yang aku pikirkan adalah pasti repot para penjual ini teriak-teriak seharian. Apalagi kalau pembeli memilih tempat duduk yang jauh dari stan mereka. Baiklah mungkin di tempat lain para pramusaji foodcourt akan berolahraga fisik, di sini pramusaji berolahraga suara. Lebih sehat mana, silahkan diadakan surveynya bagi yang penasaran. Hehehe..

Sabtu, 15 Maret 2014

Catatan Kecil...



Pernikahan? Apa itu pernikahan? Dari beberapa jawaban yang kudengar, pernikahan adalah penyatuan dua orang dalam suatu lembaga yang sah. Benarkah demikian?
     Hampir dua tahun sudah saya melibatkan diri dalam hal yang bernama pernikahan. Alhamdulillah, saya diberi partner/ pasangan/ teman/ soulmate/ suami yang berbeda dengan saya, sehingga paling tidak kemudian membuat saya bertanya-tanya dan mau belajar lagi tentang apa itu pernikahan. Yups, kami berbeda. Paling tidak perbedaan mendasar kami adalah dia laki-laki dan saya perempuan. Hahaha.
     Semakin ke sini semakin seru, karena saya adalah tipikal orang yang tak mungkin tak mempertanyakan sesuatu (gampang penasaran dan sok ingin tahu). Bahkan ketika kemudian saya sadar bahwa saya dan partner saya “saling melengkapi (baca: berbeda)”, saya kemudian berpikir ulang, ‘Apa iya dengan menikah orang dapat menyatu? Dan apakah memang mungkin manusia dapat menyatu? Dan apakah memang akan asik jika kita menikah dengan orang yang kemudian akan menyatu dengan kita? Dan kenapa kita selalu terkaget-kaget ketika mendapati partner kita berbeda dengan kita?’
    Teringat suatu ulasan dari seorang pengajar tentang pernikahan. Beliau bertanya kepada kami, para mahasiswa yang selalu bersemangat memasuki kelas untuk mempelajari dirinya sendiri, “Apa itu pernikahan?”, dan seperti yang saya utarakan di atas, beberapa dari kami kemudian menjawab bahwa pernikahan adalah penyatuan. Beliau tersenyum simpul sambil kemudian bercerita tentang kehidupan pernikahannya dengan sang istri. Beliau mengatakan dirinya tak pernah memaksakan diri untuk menyatu dengan diri sang istri, dan tidak memaksa sang istri untuk menyatu dengan dirinya. Beliau hanya berharap, beliau dan sang istri dapat saling berdampingan, saling mengiringi, saling men-support diri masing-masing untuk menjadi sebaik-baik diri mereka sendiri, dan kehidupan pernikahan beliau kemudian penuh warna. Yah, banyak warna, dan bukan keseragaman, karena mereka tak pernah memaksa untuk menyatukan diri mereka, mereka hanya saling mengisi. Sang pengajar lebih senang menyebutnya dengan “saling toleransi”.
     Saya rasa itulah kuncinya, saling toleransi. Ketika kita dapat menghargai pribadi partner kita, menghargai konflik yang kemudian timbul karena perbedaan yang ada, dan menghargai betapa partner kita pun sedang mencoba belajar hal yang sama dengan kita, belajar tentang pengalaman yang disebut pernikahan. Kita selalu bisa toleransi. Sekali lagi toleransi, bahkan terhadap konflik yang kemudian timbul, seperti yang saya katakan sebelumnya.
    Kita perlu toleransi dengan konflik, bukannya takut ketika konflik muncul. Kita menganggap konflik adalah buah manis dari adanya perbedaan, dan tak perlu tergesa-gesa menghindari. Konflik tak akan selesai ketika kita menghindarinya dan menganggapnya masalah. Rangkul sang konflik, toleransilah dengan keberadaannya dan kemudian tertawalah untuknya. Selesaikan dengan menganggapnya merupakan suatu kewajaran. Bukan menyelesaikan dengan menganggapnya sebagai masalah, karena ketika hal itu muncul lagi, maka kau akan mempengaruhi dirimu dengan anggapan bahwa pernikahanmu sedang bermasalah.
    Denial tak pernah selesai atau takkan penah menjadi “ending”, denial akan selalu menjadi “to be continued”. Oke, apakah alur saya mulai melompat-lompat? Maafkan saya, dan saya mohon toleransilah.. Hahaha…
     Saya pun belum tahu definisi tepat pernikahan seperti apa, tapi saya sependapat dengan sang pengajar, bahwa kunci dari pernikahan adalah toleransi. Ada satu kutipan yang saya suka tentang pernikahan, dalam buku Tuesdays with Morrie (ini buku suami saya yang secara rahasia saya corat-coret karena saya menyukai kutipan ini :p) “Ada beberapa aturan yang menurutku berlaku untuk cinta dan pernikahan: Kalau kita tidak menghormati pihak yang lain, kita akan mendapatkan banyak masalah. Kalau kita tidak tahu cara berkompromi, kita akan mendapatkan banyak masalah…” “menurutku pernikahan adalah babak sangat penting yang perlu kita lalui, dan kita akan kehilangan banyak sekali kalau kita tidak mencobanya.” (Albom, 1997).
     Dan bagaimana akhir dari pernikahan saya, saya tidak tahu. Tapi saya tahu, ini akan menjadi suatu perjalanan yang menyenangkan. The incredible journey… 


Ariera
Pangkal Pinang, 11 Maret 2014

Kamis, 06 Maret 2014

Aku ingin Bercerita



Hanya sedang ingin menulis. Beberapa hari ini aku liburan. Yah, liburan. Huaaaahhh.. its so nice setelah menutup tahun kemarin dengan “sempurna”. Aku kembali pulang, kembali ke muaraku, kembali ke diriku yang sebenarnya lagi. Gadis kecil yang lebih suka berkhayal ketimbang menulis laporan ilmiah, lebih suka “dolan ngalor ngidul” ketimbang berdiam diri di laboratorium untuk suatu eksperimen, lebih suka tidur ketimbang menyapu (hehehe, apaan sih ini). Tapi entahlah, menurutku semuanya seperti “Aku”.
“Aku”… teringat mata kuliah Filsafat Manusia di awal semester kuliah. Pada waktu itu ada satu pertanyaan yang sering “diulang-ulang” oleh Sang Dosen dan Asisten Dosen, “Siapa Aku?”. Hmm.. sempat puyeng juga karena dari satu pertanyaan itu jawaban akan terus berputar-putar dan seperti tak ada pangkal. Sempat gedeg karena aku kelaparan di dalam kelas kebanyakan berpikir “Siapa Aku?” Waktu itu ingin sekali kujawab, Aku adalah tubuh yang kelaparan dan akan mudah mengeluarkan cacian ketika perut tak segera diberi sumpalan. Hahaha.
“Siapa Aku?”, kira-kira jawaban apa yang akan kalian keluarkan ketika kalian diberi pertanyaan ajaib tersebut. Apakah kalian akan menjawab dengan menyebutkan identitas kalian (nama, status, usia misalnya), atau akan menyebutkan sifat-sifat kalian? Beberapa film yang pernah kutonton juga sempat membahas tentang “Siapa Aku?” ini. Film pertama yang kulihat adalah “Spiderman” dengan “Who am I?” nya. Film kedua “Anger Management” dengan “Who are Dave Buznik (tokoh utama dalam film tersebut)”, dan dikedua film tersebut tak disebutkan jawaban nyata bagaimana harus menjawab dan apa jawaban dari “Siapa Aku?”. Maka semakin puyenglah aku.
Aku pun sempat berpikir, bagaimana aku bisa berjalan mondar mandir ke sana kemari sementara aku tak pernah mengetahui “Siapa Aku?”, lalu apa bedanya aku dengan orang-orang yang diberi title gila oleh para ahli jiwa jika kami sama-sama tak bisa menjawab “Siapa Aku?”. Atau mungkin malah akan bertukar posisi jika (siapa tahu) justru mereka bisa menjawab dengan mudah.
Apakah aku akan menjadi “Aku” jika aku menjawab “Siapa Aku?” dengan menyebutkan identitasku. Jika memang demikian, apakah “Aku” tak permanen karena identitasku pun tak permanen. Dan apakah aku akan menjadi “Aku” jika jawaban yang kukeluarkan adalah sifat-sifatku (atau mungkin hal yang kukira adalah sifat-sifatku), dan bagaimana aku bisa yakin bahwa yang kusebut adalah benar-benar sifat-sifatku? Tapi jika memang itu sifat-sifatku apakah berarti aku adalah bagian “Aku” yang lain, karena mungkin manusia lain juga memiliki sifat-sifat yang kupunya, apakah aku adalah bagian dari beberapa “Aku”?
Tapi setelah peristiwa tahun lalu yang kulewati, saat ini aku merasa seperti menjadi “Aku”. Bagaimana cara aku menjawabnya (ini tak mutlak untuk semua orang), aku menjawab pada diriku sendiri, aku adalah tubuh dan jiwa yang menyatu. Ketika apa yang tubuhku kehendaki, jiwaku pun menghendakinya. Ketika jiwaku bisa mengeluarkan dirinya melalui tubuh. Tak berjalan timpang diantara keduanya. Yah bahasa mudahnya, aku merasa nyaman ketika melakukan suatu hal. Atau ketika aku melakukan suatu pekerjaan, aku memang menghendaki pekerjaan itu. Sudah, sesederhana dan seaneh itu. Sudah, itulah “Aku”. Dan tak seharusnya aku takut untuk menjadi "Aku".
Apakah aku masih puyeng, yah aku masih puyeng. Aku masih puyeng karena ketika akan mengakhiri tulisan ini aku tak tahu apa maksudku menuliskan ini. Dan apa maksudku menceritakan ini pada kalian. Tapi percayalah, aku tak ingin membagi kepuyenganku dengan kalian. Aku hanya ingin menyapa ke”Aku’an yang ada pada kalian. Karena mungkin, aku adalah bagian dari “Aku” kalian. Selamat pagi, “Aku”.