Namanya Hafiz. Bocah laki-laki berusia 11 tahun. Pagi ceria
ini, dia menarik perhatianku.
Hari ini, aku bersama 20 orang anak-anak,
bermain sebuah permainan yang kami namakan “Kenalan, yuk!”. Permainan ini
sederhana dan bertujuan agar anak-anak belajar berinteraksi dengan temannya dan
lebih mengenal siapa teman mereka. Awal mula, saya bagikan sejumlah permen
kepada mereka (pada waktu itu sebanyak 7 buah) serta secarik kertas dan sebuah
pensil. Mereka bertugas untuk mencari tahu identitas teman mereka (nama
lengkap, usia, alamat, dan cita-cita) yang kemudian mereka tulis pada kertas
yang telah dibagikan. Setiap mendapatkan satu informasi mengenai seorang teman,
mereka wajib meberi hadiah satu permen kepada teman tersebut. Siapa yang
permennya habis terlebih dahulu, maka dialah pemenangnya. Mereka pun ramai lari
ke sana ke mari, saling barter permen, dan menggunakan trik masing-masing untuk
merayu temannya agar memberikan informasi mengenai dirinya (karena ini
dilombakan dan berhadiah, mereka pun cenderung agak pelit informasi kepada temannya.
Hehehe). Saya rasa mereka semua ingin menjadi pemenang.
Setelah 10 menit, terdapat 5 orang anak yang
maju dan memberikan hasil mereka. Dan mereka berlima inilah yang kemudian
menjadi pemenangnya. Anak-anak yang belum beruntung maju ke depan, menyerahkan
hasil dan sisa permen mereka. Saya pun memberi hadiah kepada 5 orang anak yang
beruntung dan membagikan permen secara merata ke masing-masing anak yang
mengikuti permainan ini.
Dan kemudian di situlah dia duduk. Menempel di
jendela, di belakang teman-temannya yang sedang melingkar dan saling bercerita
tentang hasil kertas mereka, Hafiz sedang membungkuk dan mencorat-coret
kertasnya. Aku mendatanginya. Dia tetap asik dengan kertasnya. Aku bertanya
padanya, apakah dia masih memiliki sisa permen, dia menjawab dengan masih
membungkuk menghadapi kertasnya bahwa permennya dititipkan seorang teman untuk dikumpulkan. Aku berdiam agak lama di depannya. Kemudian dia mendongak
dan mencolek seorang teman di dekatnya sambil bertanya tentang identitas sang
teman. Aku agak heran, karena permainan telah selesai. Aku bertanya padanya,
“Hafiz, Hafiz belum mengumpulkan kertas Hafiz? Permainan sudah selesai lho. Kalau
Hafiz belum lengkap, tidak apa-apa, kumpulkan saja kertasnya.” Masih asik
menulis tentang identitas sang teman yang dia dapatkan barusan, dia menjawab,
“Saya belum selesai. Saya masih mendapat empat.” Setelah berbicara demikian dia
berkeliling ke temannya dan menanyai beberapa orang lagi. Beberapa waktu
kemudian, dia mendatangiku dengan senyum sumringah sambil menyerahkan kertasnya,
“Saya sudah selesai”. Aku tersenyum dan memberinya permen. Dia cengar-cengir
dan kemudian duduk diantara temannya sambil menunjukkan permennya.
Aku amati satu persatu kertas-kertas mereka.
Kecuali 5 orang yang berhasil mendapatkan 7 informasi mengenai temannya,
anak-anak yang lain belum menyelesaikan dengan sempurna tugas mereka. Ada yang
mendapat 4, 5, dan 6. Mereka mengumpulkan tugas mereka begitu tahu bahwa hadiah
sudah dimenangkan oleh 5 orang yang selesai bersamaan tadi. Tapi tidak Hafiz. Dia tetap merampungkannya. Selesai sampai mendapat 7 identitas temannya.
Dia seperti berkata secara tidak langsung kepadaku, “Tugas saya akan rampung
meskipun saya tidak menjadi pemenang dan mendapat hadiah”. Yah, aku memang tak
memberi batasan waktu. Aku hanya menginstruksikan yang menghabiskan permen
terlebih dahulu, yang juga berarti mendapatkan 7 informasi mengenai temannya,
dia lah pemenangnya. Hafiz tetap merampungkan tugasnya meskipun dia bukan
pemenang. Aku tersenyum padanya, di dalam hati aku berkata, “Kamu sudah menang,
Hafiz”.
Pangkal Pinang, 9 Juni 2014
Ariera