Jumat, 16 Desember 2011

Dia dan Sederhananya


Aku bertemu dengannya pertama kali di daftar nama mahasiswa. Namanya berada tepat di atas namaku. Seorang laki-laki yang aku anggap sebagai seorang anteng tanpa embel-embel banyak tingkah dalam hidupnya. Jarang sekali berinteraksi dengannya pada awal mula. Dia seseorang yang penuh dengan kedamaian. Mengapa demikian? Karena dia benar-benar irit omong. Si “Muka tanpa Ekspresi”, julukan yang sempat tersemat padanya.

Dulu aku sering mengingatkan dia untuk “memasang ekspresi” di setiap aksinya. Tapi dia hanya tersenyum tenang. Bukan hanya aku yang sering melontarkan aksi protes padanya, dan bukan hanya aku juga yang sering gondok hanya dapat senyuman tenang sebagai balasan dari aksi protes kita.


Akhir-akhir ini banyak sekali kejutan-kejutan yang dia beri kepada kami, terutama aku. Dia sudah pandai mengeluarkan aksi-aksi protes. Dimulai dari protesan kecil yang keluar dari lisannya tentang perilaku teman-teman mahasiswa yang dianggapnya aneh, perbedaan pendapat di kelas, dan kritikan-kritikan lain yang menurutku bukan sekedar kritikan tak mutu dari lisan tak bertanggungjawab.

Awalnya aku kaget waktu dia mengutarakan ketidaksetujuannya tentang perilaku teman-teman mahasiswa yang terlalu mengumbar almamater, “sedikit-sedikit membawa simbol almamater dalam setiap aksi, bahkan hanya untuk aksi jalan-jalan muteri area GKB (gedung tempat kami kuliah), padahal aksi demo atau orasi mereka sudah selesai beberapa jam yang lalu”, begitulah lontaran itu meluncur dari mulutnya yang selama ini jarang sekali dia buka. Hal-hal demikian terus berlanjut, dan jadilah dia si “Muka Tanpa Ekspresi” yang baru. Dia juga mulai aktif ikut di organisasi.


Entah bagaimana, aku lupa, aku mulai sering interaksi dengannya, dan aku sering ditraktir makan olehnya (mungkin ini alasan aku betah dekat dengan dia, hehehe). Aku sering dapat kata-kata sederhana dari dia, baik berupa guyonan, saran, kritik, protes, ejekan, segala rupalah pokoknya. Tapi justru itu yang membuat aku semakin nyaman berteman dengan dia.

Puncak dari ini adalah kemarin. Aku nyeletuk kepadanya, “Aku kepengen ke Mandalawangi. Ayo kapan-kapan ajak aku ke sana ya.” Dia menanggapiku dengan mengiyakan permintaanku, sekalian main bareng dengan teman-teman katanya. Lalu dia bertanya, “Kenapa kok tiba-tiba pengen ke sana?” Aku bilang padanya karena Soe Hok Gie pernah ke sana. “Aku suka dengan Gie,” tambahku. Setelah itu kami bahas beberapa hal sebelum akhirnya dia mengajakku ke kontrakan salah seorang teman cowok, si penyuka buku seperti aku, Candra. Sesampai di depan rumah Candra dia bilang “Ini sudah sampai rumah Gie. Tuh si Gie,” seraya menunjuk Candra yang sedang membukakan pintu. Aku tersenyum geli. Yah, Candra memang seorang penyuka buku, yang pemikirannya pun tidak bisa dianggap sepele. Dia punya buku-buku sastra yang OK. Aku di sana benar-benar senang, ketawa-ketiwi dengan mereka, dan ngobrol ngalor-ngidul. Mulai dari pembicaraan biasa-biasa saja sampai pembicaraan yang agak tidak biasa.

Ketika pulang, aku dikagetkan oleh sesuatu. Di perjalanan pulang aku melewati sebuah jalan dengan papan nama jalan bertuliskan Jl. Mandalawangi. ”Keinginanmu sudah terwujud kan” katanya tanpa ekspresi. Subhanallah, aku banyak belajar makna kesederhanaan dari dia. Dia mengajarkan aku untuk membaca simbol-simbol sederhana yang diberikan oleh Allah. Hal sederhana mempunyai banyak makna, dan kita harus menghargainya. 

Terima kasih buat kamu yang akhir-akhir ini sering kubikin jengkel dan sering kurepoti dengan permintaan-permintaan manjaku. Terima kasih buat kamu, karena telah mengajarkan banyak makna buatku di balik kesederhanaanmu.

Malang, 21 Mei 2010
Thank’s to Ardana Aji

Senin, 05 Desember 2011

Kau dan Pohon Getahmu

"Sebagian dari kita suka mengeluhkan kedatangan hujan. Tapi bagaimana dengan dia. Seorang tua kumal yang menyandarkan hidupnya pada beberapa tetes getah"

Dia terduduk di rerumputan. Di bawah tanaman yang tak begitu rindang, dia berteduh. Sepertinya tadi dia kepanasan. Dia tersembunyi. Orang lain yang tak "melek" penglihatannya tak mungkin melihat keberadaannya. Bajunya kumal dengan genre warna yang tak jelas. Rambut dan jenggotnya awut-awutan. Dibiarkan saja rambut itu tergerai di atas bajunya yang compang-camping. Celananya... hiasan tambalan dimana-mana. Gelandangan, begitulah biasanya dia disebut.

Dia kemudian berdiri dan menengadahkan tangan kesana-kemari. Satu... tak diberi... Dua... tak diberi... Tiga.. tak diberi. Hanya segelintir orang yang tak menggeleng. Dan hanya sejubel orang yang menyingkir risih.

Dia pergi. Dia tertatih menuju pohon didekatnya. Dia menelengkupkan badan hampir rata dengan tanah. Mulutnya ditempelkan pada dahan pohon. Dia mengginggit. Dan seperti vampire, dia mencecap getah pohon. Tak ada yang peduli. Hanya sesekali saja ada lirikan. Hanya sesekali saja ada lemparan recehan. Dan hanya sesekali saja ada sosok yang berdiri di sampingnya. Memanggil dia yang tanpa disengaja tak bernama. Dia menoleh. Mengulurkan tangan meraih uang kertas yang diulurkan sosok di sampingnya. "Alhamdulillah.. matur nuwun". Dia tersenyum lebar. Senyum seperti pengacara berhasil memenangkan suatu kasus. Senyum seperti ketika seorang calon presiden menang dalam pemilihan umum. Senyum seperti para bapak berdasi di atas sana yang berhasil memenangkan "project rahasia" mereka.

Hujan turun. Deras. Orang-orang beranjak pergi. Mencari tempat terlindung dari hujan. Tapi dia tetap di sana. Masih dengan senyumnya. Masih dengan selembar uang kertas dengan beberapa recehan. Dia menengadahkan kepalanya. Dia sekarang bisa minum puas dengan sahabatnya, sang tanaman penghasil getah yang biasa diminumnya. Hujan selalu dinantinya. Hujan adalah berkah untuknya. Dan hujan tak pernah menjadi penghambat eksistensinya. Dia hanya merasa dia membutuhkan sahabat dan getah yang dihasilkannya.

Alun-alun kota Malang
5 Desember 2011
(dan orang itu masih saja berkitar-kitar)













Kamis, 01 Desember 2011

Lombok Part 1


Teringat janji dengan seorang teman akan mengisahkan padanya mengenai betapa menakjubkannya Pulau Lombok (promo). Saya akan memulai menulis “perjalananku di Lombok” tanpa alur, hanya mengikuti kelebatan-kelebatan pikiran saja.

Lombok, “What amaze me”. He’s so beautiful. Dan dengan senang hati saya akan menginjakkan kaki di sana lagi.

Sebelumnya sedikit intermeso. Berbicara mengenai Lombok kemudian mengingatkan saya mengenai celetukan yang pernah saya lontarkan kepada seorang teman di awal semester kuliah dulu. Waktu itu, saya masih sangat ingat, teman tersebut agak mengusik sisi sensitif saya, hehehe, dan akhirnya dengan agak jengkel saya bicara lantang kepada dia, “Ok, lihat saja. Suatu hari saya akan tempat tinggalmu. Saya bisa sampai di Lombok meskipun bukan karena ajakanmu. Saya akan ke sana sendiri” (Anak kecil banget kan? Hehehe). Ceritanya waktu itu dia mengiming-imingi saya tentang Lombok dan mengatakan bahwa anak manja seperti saya tidak akan bisa menikmati nuansa Lombok (ealah, gitu aja kok ya marah, Non). Tapi jika dipikir-pikir, saya seharusnya mengucapkan terima kasih kepadanya, karena berkat ejekannya, saya jadi mengutarakan ke Alloh bahwa saya punya rencana ke Lombok. Bukankah Alloh selalu memeluk mimpi-mimpi hambanya, sekalipun hamba tersebut hanya berbisik. Nah berbisik aja didengerin apalagi saya yang waktu itu teriak-teriak:p

Kembali ke masalah Lombok. Setelah kejadian itu saya sempat melupakan Lombok dan teriakan saya. Sampai suatu ketika saya kembali teringat. Pada waktu mata kuliah Psikologi Lintas Budaya, kelompok saya kebagian tugas untuk membahas dinamika budaya dan psikologis Suku Sasak. Tapi setelah hal itu selesai, saya kembali lupa.

But, Alloh selalu senang mengajak saya bercanda. Tanggal 16 Juli 2011, saya menginjakkan kaki di Pulau Lombok untuk pertama kali. Setiba di Lombok saya disambut (lebih tepatnya secara tidak sengaja melihat arak-arakan penganten Suku Sasak yang sedang lewat). Acara ini sering disebut sebagai ‘Nyangkolan (maaf jika ternyata saya salah menangkap karena keterbatasan pendengaran)’. Arak-arakan dilakukan dengan cara pengantin pria dan wanita diarak berkeliling, kira-kira sejauh 1 kilometer dari rumah hajatan, sebagai bentuk rasa sukacita dua pasang manusia yang akan mengarungi kehidupan rumah tangga dan sebagai bentuk permohonan restu, kepada semua orang yang dijumpai di sepanjang jalan. Dua kali saya menikmati peristiwa “arak-arakan” ini dimana kedua-duanya selalu berlangsung secara meriah.

Beranjak dari “Nyangkolan” saya belum berhenti terkejut. Terdapat banyak hal baru yang membuat saya heran (maruk banget). Setiap saya sedang bermain di daerah Cakra (tempat ini selalu berhasil membuat saya senyum maruk), terdapat pemandangan yang menyenangkan, yaitu terdapat perpaduan antara suku Jawa-Bali dan Islam-Hindu di sini. Terlihat dari bentuk rumah mereka yang mengandung unsur Jawa-Bali: model rumah Jawa dengan ukiran khas Bali, gapura khas Bali, bahkan kadang sarung hitam-putih khas Bali pun dipasang. Karena menurut sejarahnya suku Sasak memang berasal dari Jawa dan Bali.

Selain terlihat pada bangunan, perpaduan ini juga nampak dalam bahasa. Bahasa Sasak, terutama aksaranya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali (Ha Na Ca Ra Ka...), namun secara pelafalannya lebih dekat dengan bahasa Bali. Misal ketika mereka berhitung siji, loro, tilu, papat, lima, enam, pitu, balu, siwak, sepuluh. Kata-kata ini beberapa adalah kata dalam bahasa Jawa, namun kemudian dalam segi pelafalan mereka melafalkannya dengan aksen Bali. Di Lombok sendiri, seperti halnya di Jawa, terdapat tingkatan untuk memanggil orang. Kita dilarang memanggil “Kamu” kepada orang yang lebih tua. “Side” itu adalah sapaan untuk orang yang lebih tua daripada kita. Sedangkan untuk memperhalus sapaan untuk saya, kita bisa memakai kata “Tiang”.

Struktur Pasar juga masih mencerminkan perpaduan antara Islam-Hindu. Terlihat dari tatanan Pasar dimana terdapat kompleks orang Islam dan kompleks orang Hindu (yang biasanya ditandai dengan dupa dan sesajen). Namun mereka tetap berdampingan dalam satu pasar yang sama.

Pasar Cakra adalah pasar besar tempat masyarakat Lombok belanja. Cakra sendiri adalah suatu kawasan di daerah Mataram yang menjadi sentral atau pusat kegiatan masyarakat Mataram, bahkan Lombok. Selain terdapat pasar juga terdapat Mall, toko-toko perlengkapan sehari-hari, toko otomotif, Bank, tempat wisata kuliner, dll. Menurutku Cakra terlihat eksotis ketika malam hari, hehehe. Lampu-lampu yang menyinari kota, pedagang di sepanjang jalan, dan ramai orang lalu lalang. Penjual makanan tidak hanya menunjukkan Khas masakan Lombok, tetapi juga masakan Jawa dan Bali. Terdapat makanan yang selalu direkomendasikan oleh teman buat saya, “Sate Banteng”. Tapi karena saya seorang yang agak tidak bersahabat dengan daging, maka saya lebih menyukai menikmati plecing saja.

Bercerita tentang plecing, Plecing adalah semacam urap kangkung, tapi bedanya, kangkung rebus ini bukan disiram kelapa, tapi disiram sambel yang agak cair, dan ehem, rasa pedasnya tidak diragukan (maaf data ini mungkin kurang valid, penulis kurang bersahabat dengan pedas). Saya rasa yang khas dari Lombok adalah makanannya yang khas pedas. Makanannya selalu bernuansa pedas, kecuali tentu saja dodol rumput lautnya yang berbentuk unik. Bahkan Mie bihun di sana pun penyajiannya disiram dengan sambel cair juga. Baiklah…

Tapi cita rasa masakan yang pedas ini tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah dari kata “Lombok” yang kemudian dijadikan sebagai nama pulau. Seperti halnya tulisan yang kemudian banyak saya temukan dimana-mana selama berada di Lombok, “Lombok bukan cabai”, maka kata Lombok dalam bahasa Sasak memang memiliki arti bukan sebagai cabai. Lombok dalam bahasa Sasak berarti lurus, seorang teman baru di Lombok pernah mengatakannya kepada saya. Mengenai perihal mengapa dinamai Lombok, saya juga kurang begitu paham. Karena jika dilihat dari bentuk pulaunya, Pulau Lombok sama sekali tidak mencerminkan ciri-ciri dari kata lurus itu sendiri. Mungkin pemakaian kata Lombok ini lebih dikarenakan oleh falsafah orang Lombok yang mempunyai tujuan untuk hidup secara “lurus” atau benar. Hal ini bisa dilihat dari religiusitas yang ada di masyarakat Lombok. Mereka menjadikan agama yang mereka anut sebagai suatu penuntun mereka. Aktivitas-aktivitas keagamaan di sana masih terasa kental. Dan kendati agama Islam dan Hindu berdampingan mereka berusaha untuk saling toleransi. Pernah saya melihat sebuah rumah dimana di depannya terdapat sesajen dan beberapa meter dari situ terdapat Mushola. Jarang saya melihat orang-orang yang terlalu mempermasalahkannya. Mereka tetap hidup berdampingan dengan baik.

Selain pesona budayanya, Lombok juga memiliki pesona wisata yang tidak diragukan lagi. Saya akui keadaan Pulau Lombok memang indah. Tidak hanya pantainya tetapi juga pegunungan dan  pemandangan alamnya yang lain. Rinjani dan Senggigi sempat menggoda saya begitu rupa. Tempat saya magang memiliki panorama alam yang bagus. Di sekelilingnya dikitari sawah dengan siluet Rinjani yang menunjukkan keelokannya. Sawah-sawah di Lombok masih banyak menghiasi jalanan. Suasana hijau senantiasa disajikan oleh Pulau satu ini. Udaranya sejuk, terlebih ketika sore menjelang maghrib. Saya suka berlama-lama duduk di depan Shelter bersama anak-anak baru saya, sembari menemani mereka bermain, saya bermanja-manja dengan belaian angin (mulai ngelantur…;p ). Tapi kemudian saya hanya berhasil mengunjungi Senggigi, dan Rinjani hanya sekedar cerita. Mengapa sekedar cerita, karena saya nyaris ke sana. Seorang teman, sesama konselor, mengatakan kepada saya bahwa dia berniat mengajak saya mengantar pulang salah seorang anak yang rumahnya terletak di dusun di kaki Rinjani, tapi karena melihat saya asik bermain kejar-kejaran (baca: mengejar anak yang tidak mau mandi), dia kemudian mengurungkannya. Ya sudahlah, mungkin hari itu saya memang lebih diharuskan berolahraga lari daripada melihat Rinjani. Satu lagi, ketika saya akan beranjak pulang ke Jawa, seorang teman serumah dengan kaget berkata, “Loh mau pulang, padahal saya mau mengajak ke Malimbu dan Gili Trawangan. Katanya suka pantai, kan kedua pantai itu belum Ari kunjungi”. Waktu itu ingin sekali saya tidak jadi pulang, tapi begitu melihat tiket sudah di tangan, dan berjubel SMS dari ibu yang menanyakan kapan pulang, akhirnya saya hanya bisa tersenyum miris.

Kembali ke Senggigi. Suatu hari setelah belanja keperluan untuk anak-anak (berasa mak-mak) di Cakra, saya naik taksi dan bermaksud ke Senggigi. Sekedar informasi, angkutan kota jarang di sana, biasanya para wisatawan menyewa motor sebagai transportasi. Namun berhubung keterbatasan saya yang tidak bisa naik motor, alhasil saya menjadi bersahabat dengan tukang ojek dan taksi. Saya menyukai orang-orang Lombok ini. Mereka ramah. Mereka selalu mengajak ngobrol selama di perjalanan, dan yang paling menyenangkan setiap kali mereka tahu saya orang “Jawe (panggilan dari mereka untuk saya)”, maka dengan senang hati mereka memperkenalkan Lombok kepada saya. Pernah suatu ketika saya sedang butuh ke warnet. Saya naik ojek. Letak warnet tidak begitu jauh dari tempat saya, masih di sekitar Lombok Barat. Tapi begitu dia tahu saya bukan orang Lombok, maka dia kemudian menunjukkan kepada saya suasana Cakra di malam hari. Dia sengaja mengambil jalan agak memutar, agar bisa menunjukkan kepada saya sang Cakra. Jarak antara tempat saya dengan Cakra sekitar 45 menit, dan si Tukang Ojek hanya mengenakan tarif Rp. 8000 (tarif normal untuk satu kali perjalanan dan biasanya dilihat juga dari jauh dekat jarak yang ditempuh), sementara saya menggunakan jasa dari si Tukang Ojek dengan mekanisme PP (pulang pergi) plus bonus keliling Cakra. Menyenangkan. Hal yang tidak jauh berbeda, ketika akan berangkat ke Senggigi, sang sopir taksi bertanya ini itu, dan ketika mengetahui rahasia bahwa saya bukan orang Lombok, beliau kemudian dengan berbaik hati menceritakan kepada saya mengenai Lombok. Ketika melintas di Jalan Udayana, sang Bapak bercerita bahwa tiap hari minggu sampai jam 09.00 WITA diberlakukan Car free day disepanjang jalan Udayana.

Selain car free day, Udayana merupakan tempat nongkrong anak muda, meskipun orang tua dan keluarganya juga sering menghabiskan waktu di sana bersama anak-anak mereka. Di sepanjang jalan Udayana berjejer warung makanan, warung kopi, dan tempat buat anak bermain. Sayang waktu saya lewat di sana jam masih menunjukkan pukul 10 WITA, dan pada waktu itu sedang momen puasa. Menurut si bapak lagi, semakin malam Udayana semakin ramai. Baiklah, suatu hari saya akan ke Lombok lagi.

Yah, itulah Lombok dengan hal-hal menyenangkan yang saya tangkap dari secuil keelokannya… mungkin ini bisa menjadi sedikit referensi buat teman-teman yang akan dan mau ke Lombok, atau malah mau mengajak saya ke sana lagi, dengan senang hati saya akan terima^^


*maaf tulisan sengaja dibikin acak adul, biar saya merasakan sensasi-sensasi mengejutkan itu lagi, sensasi-sensasi yang saya dapat, dan selalu bisa membuat saya berkata, “Lombok memang cantik, dan Indonesia selalu eksotis”


Sabtu, 26 November 2011

Lakon Orang

Tiba-tiba teringat dengan hasil "dolan" beberapa waktu lalu. Waktu itu tanggal 24 Februari 2011,seorang teman dari sastra mengajak menghadiri sebuah acara teatrikal di kampusnya. Dengan iseng-iseng berhadiah, akhirnya berangkat juga. Sampai di gedung J Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang,aku membaca sebuah selebaran yang berisi sinopsis teater yang akan dipentaskan, "Armageddon".

Menurutku itu adalah acara teatrikal yang menarik. Terdapat beberapa aspek kehidupan yang berusaha digambarkan. Namun, sebagai amatiran penikmat sastra, aku menangkap makna cerita mengandalkan persepsi saja.Aku menangkap sebuah ambiguitas kehidupan yang penuh dengan keabsurdan, dimana batas antara hitam dan putih sudah tidak kentara dan berada pada alur yang sama. Sebuah dialog menyatakan, "Deuh raga, andai aku tahu bahwa yang nikmat akan mendatangkan sengsara, dan yang sengsara mendatangkan nikmat, aku akan menyuruh nyawa untuk membisiki raga agar tidak cepat-cepat ke sana". Dialog ini seolah-olah menyatakan batas yang semu antara surga dan neraka. Yah, surga dan neraka, kita tak pernah tahu bagaimana rupa dan bentuknya. Apakah yang nikmat akan selalu berarti surga dan yang sengsara akan selalu berarti neraka? Aku tak tahu bagaimana jelasnya.

Dunia sudah tak lagi berahasia. Dunia sudah tak berurat malu. Namun pada saat yang sama, dunia menyimpan banyak rahasia dari manusia. Banyak rahasia dari tak adanya urat malunya. Jika memang dunia tak memiliki rahasia, mengapa manusia selalu mencari sesuatu, selalu merasa kehilangan sesuatu? Dunia membeberkan apa yang dipunyainya pada saat yang bersamaan. Keindahan, nafsu, kebencian, kebijaksanaan, kearoganan, dan kesederhanaan, yang selalu merasa telah dimiliki manusia. Semua hal ini menunjukkan betapa absurdnya dunia yang ada. Dan kita manusia harus memainkan lakon yang dipunya dengan sukarela dan sebaik mungkin.

Apakah kau protagonis atau antagonis, entahlah, di dunia ini kau tak bisa menebaknya. Dan bukanlah suatu kemustahilan jika kau adalah keduanya. Alloh kemudian memainkan perannya di situ. Alloh adalah sang sutradara. Dia yang akan membimbing manusia melakukan lakon yang dipunyainya. Manusia pun harus menikmati lakon yang dia terima. Manusia tak tahu apakah jalur hitam atau jalur putih yang sedang dia lakoni. Dia hanya berusaha sebaik mungkin melakonkan skenario yang telah didapatinya. Mungkin hal ini senada dengan salah satu ayat Al-Quran, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Alloh mengetahui sedang kamu tidak mengetahui"

*Catatan ini dibuat terinspirasi Teater "Armageddon". Hanya terinspirasi, tidak berusaha menginterpretasi^^

Sabtu, 19 November 2011

"Beruntung kalian masih diijinkan kuliah. Itu tandanya orang tua berusaha mengangkat derajat kalian," seorang ibu berkata kepadaku dan seorang teman ketika kami duduk bersampingan di kereta. Kami bertemu sore itu dengan kondisi berdesak-desakan di kereta api. Sang ibu baru pulang dari Surabaya, yang menurut penuturan beliau adalah Surabaya untuk kerja dan mencari rizki. "Apapun ilmunya, dimanapun menuntutnya, asal ilmu itu bermanfaat, insyaAlloh berkah," tutur sang ibu lebih lanjut.

Apa yang dikatakan sang ibu hampir sama dengan apa yang dikatakan ayah padaku. Teringat beberapa tahun silam, ketika aku memutuskan untuk berhenti kuliah dan hanya menjawab, "aku tidak suka" pada ayah yang menyakan alasanku kenapa berhenti kuliah. Tak banyak bercakap ayah kemudian mengabulkan permintaanku. Yah, memang tak banyak berkata. Itulah yang kemudian membuat aku merasa menyesal dan bertanya, "Apakah aku telah menyakiti ayah". Aku baru berani bertanya kepada ayah setelah mampu memenuhi janjiku kepadanya untuk bersungguh-sungguh di "tempat" perkuliahan baru. Beliau menjawab, "Mau kuliah dimanapun, jurusan apapun, asal memang kamu mempunyai niat untuk melakukannya, akan ayah usahakan. Yang penting ilmu itu akhirnya bermanfaat atau tidak. Karena hal itulah yang akan meninggikan derajat seseorang. Bukan tempat kuliahnya." Aku hanya diam mendengarkannya. Berusaha mencerna.

Memang bukan tempat yang berpengaruh besar terhadap langkah-langkah seseorang, melainkan diri orang itu sendiri. "Passion", ada baiknya yang perlu diperhatikan pertama kali adalah hal ini. Jika memang sesuatu itu telah menjadi "passion" maka langkah apapun yang dilakukan akan terasa bermakna. Bukan "tempat" atau "daerah" atau "kota" atau semacamnya yang menjadikan seseorang akan menunjukkan maknanya di dunia, melainkan "diri" orang itu sendiri. Sampai dibatas mana dia akan mengaktualisasikan "diri" nya, dengan "passion" yang dipunya.

Tak ada siapa yang lebih hebat dari siapa, apalagi jika hal tersebut hanya diukur dengan "tempat" keberadaan seseorang. Semua orang adalah hebat ketika dia merasa apa yang dia lakukan memberikan arti bagi orang lain, meskipun itu hanya sedikit. Mengenali diri lebih baik dilakukan terlebih dahulu, bukan berfokus kepada mengenali "tempat". Ilmu berada dimana saja, bisa diambil di tempat mana saja. Yang kemudian menjadi tolak ukur baginya adalah seberapa bermanfaat ilmu yang dipunya, karena ilmu yang bermanfaatlah yang akan meninggikan derajat seseorang.

Malang, 20 November 2011