Teringat janji dengan seorang teman akan mengisahkan
padanya mengenai betapa menakjubkannya Pulau Lombok (promo). Saya akan memulai
menulis “perjalananku di Lombok” tanpa alur, hanya mengikuti
kelebatan-kelebatan pikiran saja.
Lombok, “What amaze me”. He’s so beautiful. Dan dengan
senang hati saya akan menginjakkan kaki di sana lagi.
Sebelumnya sedikit intermeso. Berbicara mengenai
Lombok kemudian mengingatkan saya mengenai celetukan yang pernah saya lontarkan
kepada seorang teman di awal semester kuliah dulu. Waktu itu, saya masih sangat
ingat, teman tersebut agak mengusik sisi sensitif saya, hehehe, dan akhirnya
dengan agak jengkel saya bicara lantang kepada dia, “Ok, lihat saja. Suatu hari
saya akan tempat tinggalmu. Saya bisa sampai di Lombok meskipun bukan karena
ajakanmu. Saya akan ke sana sendiri” (Anak kecil banget kan? Hehehe). Ceritanya
waktu itu dia mengiming-imingi saya tentang Lombok dan mengatakan bahwa anak
manja seperti saya tidak akan bisa menikmati nuansa Lombok (ealah, gitu aja kok
ya marah, Non). Tapi jika dipikir-pikir, saya seharusnya mengucapkan terima
kasih kepadanya, karena berkat ejekannya, saya jadi mengutarakan ke Alloh bahwa
saya punya rencana ke Lombok. Bukankah Alloh selalu memeluk mimpi-mimpi hambanya,
sekalipun hamba tersebut hanya berbisik. Nah berbisik aja didengerin apalagi
saya yang waktu itu teriak-teriak:p
Kembali ke masalah Lombok. Setelah kejadian itu saya
sempat melupakan Lombok dan teriakan saya. Sampai suatu ketika saya kembali teringat.
Pada waktu mata kuliah Psikologi Lintas Budaya, kelompok saya kebagian tugas
untuk membahas dinamika budaya dan psikologis Suku Sasak. Tapi setelah hal itu
selesai, saya kembali lupa.
But,
Alloh selalu senang mengajak saya bercanda. Tanggal 16 Juli 2011, saya
menginjakkan kaki di Pulau Lombok untuk pertama kali. Setiba di Lombok saya
disambut (lebih tepatnya secara tidak sengaja melihat arak-arakan penganten Suku
Sasak yang sedang lewat). Acara ini sering disebut sebagai ‘Nyangkolan (maaf
jika ternyata saya salah menangkap karena keterbatasan pendengaran)’.
Arak-arakan dilakukan dengan cara pengantin pria dan
wanita diarak berkeliling, kira-kira sejauh 1 kilometer dari rumah hajatan, sebagai bentuk
rasa sukacita dua
pasang manusia yang akan mengarungi kehidupan rumah tangga dan sebagai bentuk
permohonan restu, kepada semua orang yang dijumpai di sepanjang jalan. Dua kali saya menikmati peristiwa
“arak-arakan” ini dimana kedua-duanya selalu berlangsung secara meriah.
Beranjak
dari “Nyangkolan” saya belum berhenti terkejut. Terdapat banyak hal baru yang
membuat saya heran (maruk banget). Setiap saya sedang bermain di daerah Cakra
(tempat ini selalu berhasil membuat saya senyum maruk), terdapat pemandangan
yang menyenangkan, yaitu terdapat perpaduan antara suku Jawa-Bali dan
Islam-Hindu di sini. Terlihat dari bentuk rumah mereka yang mengandung unsur
Jawa-Bali: model rumah Jawa dengan ukiran khas Bali, gapura khas Bali, bahkan
kadang sarung hitam-putih khas Bali pun dipasang. Karena menurut sejarahnya suku
Sasak
memang berasal
dari Jawa dan Bali.
Selain
terlihat pada bangunan, perpaduan ini juga nampak dalam bahasa. Bahasa
Sasak, terutama aksaranya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali (Ha Na Ca Ra
Ka...), namun secara pelafalannya lebih dekat dengan bahasa Bali. Misal ketika mereka berhitung siji, loro, tilu, papat, lima, enam, pitu, balu, siwak, sepuluh.
Kata-kata ini beberapa adalah kata dalam bahasa Jawa, namun kemudian dalam segi
pelafalan mereka melafalkannya dengan aksen Bali. Di Lombok sendiri, seperti
halnya di Jawa, terdapat tingkatan untuk memanggil orang. Kita dilarang
memanggil “Kamu” kepada orang yang lebih tua. “Side” itu adalah sapaan untuk
orang yang lebih tua daripada kita. Sedangkan untuk memperhalus sapaan untuk
saya, kita bisa memakai kata “Tiang”.
Struktur
Pasar juga masih mencerminkan perpaduan antara Islam-Hindu. Terlihat dari
tatanan Pasar dimana terdapat kompleks orang Islam dan kompleks orang Hindu
(yang biasanya ditandai dengan dupa dan sesajen). Namun mereka tetap
berdampingan dalam satu pasar yang sama.
Pasar
Cakra adalah pasar besar tempat masyarakat Lombok belanja. Cakra sendiri adalah
suatu kawasan di daerah Mataram yang menjadi sentral atau pusat kegiatan
masyarakat Mataram, bahkan Lombok. Selain terdapat pasar juga terdapat Mall, toko-toko
perlengkapan sehari-hari, toko otomotif, Bank, tempat wisata kuliner, dll.
Menurutku Cakra terlihat eksotis ketika malam hari, hehehe. Lampu-lampu yang
menyinari kota, pedagang di sepanjang jalan, dan ramai orang lalu lalang.
Penjual makanan tidak hanya menunjukkan Khas masakan Lombok, tetapi juga
masakan Jawa dan Bali. Terdapat makanan yang selalu direkomendasikan oleh teman
buat saya, “Sate Banteng”. Tapi karena saya seorang yang agak tidak bersahabat
dengan daging, maka saya lebih menyukai menikmati plecing saja.
Bercerita
tentang plecing, Plecing adalah
semacam urap kangkung, tapi bedanya, kangkung rebus ini bukan disiram kelapa,
tapi disiram sambel yang agak cair, dan ehem, rasa pedasnya tidak diragukan
(maaf data ini mungkin kurang valid, penulis kurang bersahabat dengan pedas).
Saya rasa yang khas dari Lombok adalah makanannya yang khas pedas. Makanannya
selalu bernuansa pedas, kecuali tentu saja dodol rumput lautnya yang berbentuk
unik. Bahkan Mie bihun di sana pun penyajiannya disiram dengan sambel cair
juga. Baiklah…
Tapi
cita rasa masakan yang pedas ini tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah dari
kata “Lombok” yang kemudian dijadikan sebagai nama pulau. Seperti halnya
tulisan yang kemudian banyak saya temukan dimana-mana selama berada di Lombok, “Lombok
bukan cabai”, maka kata Lombok dalam bahasa Sasak memang memiliki arti bukan
sebagai cabai. Lombok dalam bahasa Sasak berarti lurus, seorang teman baru di
Lombok pernah mengatakannya kepada saya. Mengenai perihal mengapa dinamai
Lombok, saya juga kurang begitu paham. Karena jika dilihat dari bentuk
pulaunya, Pulau Lombok sama sekali tidak mencerminkan ciri-ciri dari kata lurus
itu sendiri. Mungkin pemakaian kata Lombok ini lebih dikarenakan oleh falsafah
orang Lombok yang mempunyai tujuan untuk hidup secara “lurus” atau benar. Hal
ini bisa dilihat dari religiusitas yang ada di masyarakat Lombok. Mereka
menjadikan agama yang mereka anut sebagai suatu penuntun mereka. Aktivitas-aktivitas
keagamaan di sana masih terasa kental. Dan kendati agama Islam dan Hindu
berdampingan mereka berusaha untuk saling toleransi. Pernah saya melihat sebuah
rumah dimana di depannya terdapat sesajen dan beberapa meter dari situ terdapat
Mushola. Jarang saya melihat orang-orang yang terlalu mempermasalahkannya.
Mereka tetap hidup berdampingan dengan baik.
Selain
pesona budayanya, Lombok juga memiliki pesona wisata yang tidak diragukan lagi.
Saya akui keadaan Pulau Lombok memang indah. Tidak hanya pantainya tetapi juga
pegunungan dan pemandangan alamnya yang
lain. Rinjani dan Senggigi sempat menggoda saya begitu rupa. Tempat saya magang
memiliki panorama alam yang bagus. Di sekelilingnya dikitari sawah dengan
siluet Rinjani yang menunjukkan keelokannya. Sawah-sawah di Lombok masih banyak
menghiasi jalanan. Suasana hijau senantiasa disajikan oleh Pulau satu ini.
Udaranya sejuk, terlebih ketika sore menjelang maghrib. Saya suka berlama-lama
duduk di depan Shelter bersama
anak-anak baru saya, sembari menemani mereka bermain, saya bermanja-manja
dengan belaian angin (mulai ngelantur…;p ). Tapi kemudian saya hanya berhasil
mengunjungi Senggigi, dan Rinjani hanya sekedar cerita. Mengapa sekedar cerita,
karena saya nyaris ke sana. Seorang teman, sesama konselor, mengatakan kepada
saya bahwa dia berniat mengajak saya mengantar pulang salah seorang anak yang
rumahnya terletak di dusun di kaki Rinjani, tapi karena melihat saya asik
bermain kejar-kejaran (baca: mengejar anak yang tidak mau mandi), dia kemudian
mengurungkannya. Ya sudahlah, mungkin hari itu saya memang lebih diharuskan
berolahraga lari daripada melihat Rinjani. Satu lagi, ketika saya akan beranjak
pulang ke Jawa, seorang teman serumah dengan kaget berkata, “Loh mau pulang,
padahal saya mau mengajak ke Malimbu dan Gili Trawangan. Katanya suka pantai,
kan kedua pantai itu belum Ari kunjungi”. Waktu itu ingin sekali saya tidak
jadi pulang, tapi begitu melihat tiket sudah di tangan, dan berjubel SMS dari
ibu yang menanyakan kapan pulang, akhirnya saya hanya bisa tersenyum miris.
Kembali
ke Senggigi. Suatu hari setelah belanja keperluan untuk anak-anak (berasa
mak-mak) di Cakra, saya naik taksi dan bermaksud ke Senggigi. Sekedar
informasi, angkutan kota jarang di sana, biasanya para wisatawan menyewa motor
sebagai transportasi. Namun berhubung keterbatasan saya yang tidak bisa naik
motor, alhasil saya menjadi bersahabat dengan tukang ojek dan taksi. Saya
menyukai orang-orang Lombok ini. Mereka ramah. Mereka selalu mengajak ngobrol
selama di perjalanan, dan yang paling menyenangkan setiap kali mereka tahu saya
orang “Jawe (panggilan dari mereka untuk saya)”, maka dengan senang hati mereka
memperkenalkan Lombok kepada saya. Pernah suatu ketika saya sedang butuh ke
warnet. Saya naik ojek. Letak warnet tidak begitu jauh dari tempat saya, masih
di sekitar Lombok Barat. Tapi begitu dia tahu saya bukan orang Lombok, maka dia
kemudian menunjukkan kepada saya suasana Cakra di malam hari. Dia sengaja
mengambil jalan agak memutar, agar bisa menunjukkan kepada saya sang Cakra.
Jarak antara tempat saya dengan Cakra sekitar 45 menit, dan si Tukang Ojek
hanya mengenakan tarif Rp. 8000 (tarif normal untuk satu kali perjalanan dan
biasanya dilihat juga dari jauh dekat jarak yang ditempuh), sementara saya menggunakan
jasa dari si Tukang Ojek dengan mekanisme PP (pulang pergi) plus bonus keliling
Cakra. Menyenangkan. Hal yang tidak jauh berbeda, ketika akan berangkat ke
Senggigi, sang sopir taksi bertanya ini itu, dan ketika mengetahui rahasia bahwa
saya bukan orang Lombok, beliau kemudian dengan berbaik hati menceritakan
kepada saya mengenai Lombok. Ketika melintas di Jalan Udayana, sang Bapak
bercerita bahwa tiap hari minggu sampai jam 09.00 WITA diberlakukan Car free day disepanjang jalan Udayana.
Selain
car free day, Udayana merupakan
tempat nongkrong anak muda, meskipun orang tua dan keluarganya juga sering
menghabiskan waktu di sana bersama anak-anak mereka. Di sepanjang jalan Udayana
berjejer warung makanan, warung kopi, dan tempat buat anak bermain. Sayang
waktu saya lewat di sana jam masih menunjukkan pukul 10 WITA, dan pada waktu
itu sedang momen puasa. Menurut si bapak lagi, semakin malam Udayana semakin
ramai. Baiklah, suatu hari saya akan ke Lombok lagi.
Yah,
itulah Lombok dengan hal-hal menyenangkan yang saya tangkap dari secuil
keelokannya… mungkin ini bisa menjadi sedikit referensi buat teman-teman yang
akan dan mau ke Lombok, atau malah mau mengajak saya ke sana lagi, dengan
senang hati saya akan terima^^
*maaf
tulisan sengaja dibikin acak adul, biar saya merasakan sensasi-sensasi
mengejutkan itu lagi, sensasi-sensasi yang saya dapat, dan selalu bisa membuat
saya berkata, “Lombok memang cantik, dan Indonesia selalu eksotis”