Minggu, 05 Februari 2012

Lelaki di Lapangan Basket


Sedang tidak bisa tidur. Aku teringat tentang pertemuan pertama kita. Yah kita, kau dan aku. Ternyata versi pertemuan pertama kita berbeda. Kau mengingatnya sebagai si “gadis kecil yang jutek”, dan aku mengingatnya sebagai “lelaki di lapangan basket”.

Aku pernah mempunyai seorang “pacar” pemain basket, tetapi aku tak mengingatnya sebagai “lelaki di lapangan basket”. Kau… entahlah pemain basket atau bukan, tetapi aku selalu mengingatmu sebagai “lelaki di lapangan basket”. Gambaran itu sangat familiar denganku. Cara dudukmu, kaos yang kau kenakan, dan cerita-cerita yang kau sajikan, tetap aku mengenalinya.

Punggung…  yang pertama kali kulihat, karena kau membelakangiku. Tetapi ketika aku tahu itu kau, entahlah…  pada waktu itu aku merasa tenang. Heyyyy…  tahukah kau aku selalu merasa tenang ketika kau berada di tumpukan orang-orang yang asing menurutku. Aku selalu lebih memilih mendatangimu daripada orang lain yang (mungkin) juga sudah kukenal. Maka hari itu pun demikian. Aku mendatangimu, karena bagiku orang-orang yang kukenal di sekitarku terasa asing. Aku senang ada kau di situ dan tanpa ragu “menemanimu” sembari tersenyum jail padamu. Kau selalu memandangku sama, pandangan “aneh”. Seperti meragukan bahwa masih ada saja jenis spesies seperti ini. Kecil, jutek, penakut, pemimpi, dan pelupa. Hey, boy, aku tak pernah menjadikan itu masalah.

Hari itu pun demikian. Dengan pandangan “aneh”mu kau membalas senyumku. Kita ada di situ. Di tengah hingar bingar lapangan basket. Kau menceritakan banyak hal kepadaku. Bukan.. bukan tentang permainan basket yang tengah kita tonton, karena ketika kau mulai bercerita, lapangan basket mulai sepi dari aktivitasnya. Dan kemudian tinggal kita berdua. Kau tetap asik menceritakan banyak hal tentangmu. Tentang cita-citamu, tentang keluargamu, tentang kuliah dan teman-temanmu, dan tentang keinginanmu belajar “psikologi”. Yah… sampai sekarang kau masih menunjukkan ketertarikanmu pada satu hal itu, “psikologi”, dan (mungkin) karena hal itu kau masih dekat denganku.

Heyyy… aku masih ingat bagaimana caramu bercerita. Kau selalu antusias ketika bercerita, dan aku menyukainya. Aku seperti sedang mendapatkan dongeng gratis di sore hari. Sore menjelang senja, itu yang kuingat. Cara dudukmu, cara kau menerawang dan mengkhayalkan cita-citamu, cara kau mengucapkan dan menggambarkan setiap detail ceritamu, aku selalu ingat. Dalam ceritamu, kau selalu menganggap semua orang istimewa, dan kau selalu tak sadar bahwa kau istimewa. Mungkin itulah yang kemudian membuatmu istimewa, karena kau tak pernah sadar bahwa kau istimewa. Dan sore itu pun menjadi sore yang istimewa untukku.

Aku selalu mengingatmu sebagai “lelaki di lapangan basket”. Cara dudukmu, kaos yang kau kenakan, dan cerita-cerita yang kau sajikan,  aku tetap mengenalinya…


Surat Cinta untukmu…
Pasuruan, 22:33 WIB, 5 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar