Sedang tidak bisa tidur. Aku
teringat tentang pertemuan pertama kita. Yah kita, kau dan aku. Ternyata versi
pertemuan pertama kita berbeda. Kau mengingatnya sebagai si “gadis kecil yang
jutek”, dan aku mengingatnya sebagai “lelaki di lapangan basket”.
Aku pernah mempunyai seorang “pacar”
pemain basket, tetapi aku tak mengingatnya sebagai “lelaki di lapangan basket”.
Kau… entahlah pemain basket atau bukan, tetapi aku selalu mengingatmu sebagai
“lelaki di lapangan basket”. Gambaran itu sangat familiar denganku. Cara
dudukmu, kaos yang kau kenakan, dan cerita-cerita yang kau sajikan, tetap aku
mengenalinya.
Punggung… yang pertama kali kulihat, karena kau
membelakangiku. Tetapi ketika aku tahu itu kau, entahlah… pada waktu itu aku merasa tenang. Heyyyy… tahukah kau aku selalu merasa tenang ketika
kau berada di tumpukan orang-orang yang asing menurutku. Aku selalu lebih
memilih mendatangimu daripada orang lain yang (mungkin) juga sudah kukenal.
Maka hari itu pun demikian. Aku mendatangimu, karena bagiku orang-orang yang
kukenal di sekitarku terasa asing. Aku senang ada kau di situ dan tanpa ragu
“menemanimu” sembari tersenyum jail padamu. Kau selalu memandangku sama,
pandangan “aneh”. Seperti meragukan bahwa masih ada saja jenis spesies seperti
ini. Kecil, jutek, penakut, pemimpi, dan pelupa. Hey, boy, aku tak pernah
menjadikan itu masalah.
Hari itu pun demikian. Dengan
pandangan “aneh”mu kau membalas senyumku. Kita ada di situ. Di tengah hingar
bingar lapangan basket. Kau menceritakan banyak hal kepadaku. Bukan.. bukan
tentang permainan basket yang tengah kita tonton, karena ketika kau mulai
bercerita, lapangan basket mulai sepi dari aktivitasnya. Dan kemudian tinggal
kita berdua. Kau tetap asik menceritakan banyak hal tentangmu. Tentang
cita-citamu, tentang keluargamu, tentang kuliah dan teman-temanmu, dan tentang
keinginanmu belajar “psikologi”. Yah… sampai sekarang kau masih menunjukkan
ketertarikanmu pada satu hal itu, “psikologi”, dan (mungkin) karena hal itu kau
masih dekat denganku.
Heyyy… aku masih ingat bagaimana
caramu bercerita. Kau selalu antusias ketika bercerita, dan aku menyukainya.
Aku seperti sedang mendapatkan dongeng gratis di sore hari. Sore menjelang
senja, itu yang kuingat. Cara dudukmu, cara kau menerawang dan mengkhayalkan
cita-citamu, cara kau mengucapkan dan menggambarkan setiap detail ceritamu, aku
selalu ingat. Dalam ceritamu, kau selalu menganggap semua orang istimewa, dan
kau selalu tak sadar bahwa kau istimewa. Mungkin itulah yang kemudian membuatmu
istimewa, karena kau tak pernah sadar bahwa kau istimewa. Dan sore itu pun
menjadi sore yang istimewa untukku.
Aku selalu mengingatmu sebagai
“lelaki di lapangan basket”. Cara dudukmu, kaos yang kau kenakan, dan
cerita-cerita yang kau sajikan, aku
tetap mengenalinya…
Surat Cinta untukmu…
Pasuruan, 22:33 WIB, 5 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar